Peran rakyat dalam arena publik tidak dapat dihindarkan dari konfrontasinya dengan peran negara. Konfrontasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari siklus politik-ekonomi (dan ideologi) yang berkembang. Pentingnya mendiskusikan isu ini, terutama pada dekade terakhir, erat terkait dengan wacana demokrasi yang bersifat dinamis.Â
Paling tidak, ada empat kategori wacana demokrasi di Indonesia, yaitu wacana radikal, liberal, konservatif dan Islam. Setiap wacana tersebut pun terdiri dari variannya lagi, seperti Marxisme, Populisme Kiri, Feminisme dan Demokrasi Sosial mewakili wacana radikal Liberalisme Politik dan Liberalisme Ekonomi, wacana Liberal, serta Modemisme Islam, Noe-Modernisme Islam dan Transformasi Islam, wacana Islam.
  Di Indonesia, wacana tersebut acap berhenti pada tataran konseptual atau jargon saja, oleh karena tradisi yang ber kembang adalah tradisi antidemokrasi, di mana kekuasaan ditegakkan di atas kekerasan politik. Pembatasan terhadap pluralisme politik, kompetisi yang tidak fair untuk kepentingan penguasa, dan juga absennya kesetaraan dalam politik telah berlangsung lama sehingga melahirkan budaya otoritarianisme. Mungkin masih pekat dalam ingatan bagaimana Rezim Orde Baru dengan mapan mengandalkan seperangkat struktur ide untuk meligitimasi pemerintahannya yang otoriter.
Terbangunnya Ruang Harapan?
  Banyak pihak yang optimis terhadap perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir ini. Indonesia berada di masa yang sangat bersejarah dalam kehidupan sebuah bangsa. Setelah bertahun-tahun di bawah dominasi penguasa, kini proses demokrasi telah dimulai. Harapan masyarakat agar suatu masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis dapat diwujudkan, sangatlah besar. Memang, mahal harganya yang harus ditebus bangsa ini untuk sampai pada siklus saat ini.Â
Meskipun demikian, kondisi tersebut telah memberikan celah bagi setiap pihak di negeri ini untuk memulai perubahan. Fokus perhatian, dalam hal ini, banyak dicurahkan kepada usaha- usaha perubahan untuk memperkuat posisi rakyat atau publik yang selama ini hanya menjadi objek alienasi negara. Sebuah perubahan yang dapat menjamin rakyat, terlebih kelompok marjinal, memiliki tempat yang adil dalam struktur sosial dan politik ekonomi.
  Dalam penyelenggaraan urusan publik, tantangan terbesarnya adalah bagaimana meningkatkan partisipasi rakyat dalam penentuan kebijakan publik. Melalui proses partisipasi warga diharapkan tercipta pembelajaran sosial, yang menghasilkan komitmen perubahan-perubahan sosial (social change).Â
Selain itu, proses partipasi tersebut dapat memperkuat dan me- mobilisasi masyarakat sebagai aktor dalam proses pembangun- an mereka sendiri. Sekali lagi, ketika masyarakat miskin (marjinal) berpartisipasi dalam proses pembangunan, mereka dapat meningkatkan kemampuan serta membangun prilaku yang menjadi modal untuk menyatu dalam interaksi sosial yang lebih luas.
  Dalam kondisi ini, wacana demokratisasi menjadi salah satu alternatif strategi. Dr. Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi tahun 1998, terang-terangan menyatakan "hal paling penting yang terjadi dalam abad XX adalah meluasnya fenomena demokrasi sebagai bentuk yang diterima oleh banyak pihak" (lihat catatan refleksinya Helen Lok, 1999).Â
Masih dalam catatan refleksinya tersebut, Helen Lok memberikan dukungannya dengan menyatakan: "meskipun tak ada satu pun sistem yang bisa sempurna, dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah bentuk paling memungkinkan untuk menjadi basis bagi sebuah masyarakat yang manusiawi, dimana dalam hal ini, masyarakat yang melindungi hak-hak individual yang menjamin akses pertanggungjawaban dari para pemimpinnya, yang dapat meningkatkan ketahanan sosial, politik dan ekonomi seluruh warga negara, serta yang memperbolehkan dan bahkan berkepentingan pada dialog terbuka bagi kestabilan pembangunan dalam hal prioritas dan nilai-nilai sosial".
  Benjamin Barber (1984, 151) menambahkan bahwa pemerintahan baru dapat difungsikan jika terjadi demokrasi yang kuat. Barber's menyatakan: "strong democracy is defined by politics in the participatory mode; literally, it is self-government by citizen rather than representative govememt in the name citizens. Active citizens govenm themselves directly here, not necessarily at every level and every instance, but frequently enough and in particular when basic policies are being desided and when significant power is being deployed". Di lain kesempatan, Barber juga menekankan bahwa "strong democracy should promote strong citizenship and strong society".
Strategi Penguatan Organisasi Rakyat: Kontekstual-Sosial sebagai basis
  Dalam konteks seperti itu, keterlibatan rakyat relatif lebih mudah dan posisinya lebih kuat ketika mereka terorganisir dalam satuan institusi sosial. Karena dalam kondisi yang ter- organisir, maka di satu sisi komunikasi sosial lebih manageable, dan pada sisi yang lain posisi tawar publik pun relatif lebih kuat. Karenanya, mapannya institusi-institusi sosial tersebut, kekuatan-kekuatan individual dapat terakumulasi menjadi kekuatan publik secara kolektif, begitu juga biaya-biaya individual dapat ditanggung secara kolektif.
  Contohnya, pada kondisi relevant public yang hanya terdiri dari satu institusi, maka pertemuan rutin di antara mereka menjadi bentuk yang relevan sebagai arena keterlibatan mereka dalam memengaruhi keputusan publik, selain menjadi arena komunikasi sesama mereka. Pada kondisi relevant public terdiri dari satu institusi atau lebih, pertemuan rutin di masing- masing institusi masih cukup relevan dilakukan sebagai arena keterlibatan warga.Â
Akan tetapi, harus diingat, arena yang berbeda juga akan menghasilkan rekomendasi yang berbeda pula. Karenanya, dalam kondisi seperti itu sebaiknya ada 'arena bersama' yang dapat digunakan sebagai 'arena transaksi' dari berbagai institusi sosial yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kejadiannya akan menjadi rumit ketika tidak ada institusi atau organisasi sosial pada relevant public, oleh karena dalam kondisi seperti itu tidak ada 'arena' untuk keterlibatan rakyat dalam memengaruhi keputusan publik. Selain itu, juga dikarenakan tidak adanya saluran komunikasi di antara mereka. Dalam kondisi seperti itu, public hearing menjadi pilihan yang relevan.
Struktur Sosial
  Struktur di dalam suatu komunitas terdiri dari individu- individu yang tergabung dalam keluarga-keluarga, kelompok- kelompok dan tergabung lagi dalam institusi-institusi. Institusi tersebut bersama-sama dan secara menyeluruh membentuk apa yang dinamakan komunitas.Â
Namun dalam konteks pembangunan, posisi dan peranan masing-masing unsur dari struktur tersebut akan mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu pula, atau dikatakan bahwa seluruh sistem sosialnya adalah goal oriented. Maka jika mengacu pada tujuan masyarakat seperti dimaksudkan, diperlukan pengelompokan kembali elemen-elemen struktural yang tadi disebut.Â
Pengelompokan baru ini harus dapat mencerminkan suatu konsistensi dalam interrelasinya, agar terwujud suatu model sistem sosial dengan bentuk dan fungsi sebagai (semacam) management-models yang menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan kolektif. Sudah jelas bahwa posisi dan peranan masing-masing individu keluarga, kelompok, institusi tidak berkurang dalam arti dan maknanya, akan tetapi peranan-peranan institusional, yang terutama terarah dalam pembangunan.
  Dalam hal ini, yang harus menjadi fokus perhatian adalah apa saja determinan-determinan yang memengaruhi struktur sosial tersebut. John S. Nimpoeno (1980) menyatakan bahwa determinan tersebut adalah input atau masukan kepada sistem sosial yang diperlukan untuk berfungsinya sistem, seperti aspek ideologis, yang menjadi dasar pendorong landasan tata nilai dan norma yang menunjang, aspek teknis, yang mendorong dan memotivasikan kegiatan-kegiatan supaya berjalan secara efektif, dan aspek administartif, yang mendorong dan memperlancar usaha-usaha ke arah efisiensi.
Integrator-integrator Sosial
  Komunitas sebagai sistem teritorial dan sosial menunjukkan adanya interaksi antara komponen-komponennya yang bermakna dan berarti. Kelancaran dan komponennya ini dicapai melalui integrator-integrator sosial. Yaitu berbagai macam bentuk dan komunikasi sosial yang terlembaga dalam masyarakat yang bersangkutan, cara dan bentuk lain yang secara kultural menjadi kelaziman untuk mengekspresikan diri sebagai pelaku dalam sistem sosial yang ada. Integrator-integrator ini banyak berakar dalam kebudayaan, sehingga tidak mungkin diabaikan sebagai faktor penyatu dari masyarakat setempat. Jika integrator tersebut berakar dalam kebudayaan, maka tidak mungkin integrator yang berlaku ini dengan sengaja atau paksaan diubah sekaligus, oleh karena mungkin akan melahirkan social chaos.
  Berkaitan dengan hal tersebut, penting juga untuk me- nyoroti tingkah laku sosial, oleh karena tingkah laku tersebut selalu mempunyai penyebab, motif dan tujan tertentu, seperti di atas tadi sudah dijelaskan. Maka, perubahan-perubahan pada sebab, motif atau tujuannya akan berpengaruh juga pada formasi sosial yang terjadi secara otomatis, yang akan berpengaruh juga pada strategi penguatan institusi dalam sistem sosial tersebut.Â
Motif dan tujuan tersebut dapat ditinjau dari sisi internal dan eksternal, oleh karena kondisi internal dan eksternal berhubungan timbal balik dari suatu sistem sosial. Pada umumnya faktor internal merujuk pada kebutuhan-kebutuhan tertentu pada suatu saat, khususnya menurut tingkat desakan- nya.Â
Kebutuhan-kebutuhan yang dimaksudkan dapat bersifat fisik-biologis, sosial maupun psikologis. Faktor eksternal pada umumnya menggambarkan tantangan dan ancaman yang ber- asal dari lingkungan. Stimulan yang kompleks ini juga dapat bersifat fisik-biologis, sosial maupun psikologi.
  Faktor-faktor internal dan eksternal itu akan memberikan arah kepada tingkah laku si pelaku, sebab objek yang menjadi tujuannya itu tentunya merupakan fungsi dari kebutuhan yang ada berserta tantangan lingkungan yang mendesaknya. Namun, seberapa jauh si pelaku dapat maju ke depan mendekati objek tujuan, itu masih tergantung dari potensi dan kemampuan yang ada pada dirinya (social self, dimana social self sendiri tergantung pada struktur dan kondisi territorial, serta struktur dan dinamika sosial.
Persepsi Sosial Terhadap Lingkungan
  Secara kualitatif dan kuantitatif, meluasnya tantangan lingkungan yang disertai peningkatan kebutuhan menuntut pula suatu peningkatan dari social self. Perubahahan identitas sosial tersebut akan mengubah persepsi sosial terhadap lingkungannya. Lingkungan masyarakat tidak saja merupakan sumber segala macam tantangan, tetapi juga sekaligus menjadi wilayah sumber-sumber yang dapat memenuhi kebutuhannya. Bagaimana lingkungan tersebut dipersepsikan sangat tergantung pada social self. Persepsi atas lingkungan penting ketika memengaruhi formasi modal sosial yang terjadi. Karena formasi modal sosial pada akhirnya juga memengaruhi pilihan strategi penguatan institusi-institusi yang berada di dalam lingkungan yang dipersepsikan tersebut. Dalam hal ini, John S. Nimpoeno (1980) mengklasifikasi persepsi sosial terhadap lingkungannya menjadi empat klasifikasi sebagai berikut:
  Lingkungan 'seadanya' (randinized, placid environment): di dalam lingkungan ini segala tantangan dan sumber kebutuhan tidak berubah dan terdistribusikan 'at random'. Justru karena situasi 'seadanya' ini dan yang berstruktur tenang, maka masyarakat pada tingkat persepsi ini cenderung untuk bergerak maju 'at random' pula atau tanpa memerlukan pemikiran dan perencanaan.
  Placid, clustered environment. Lingkungan ini dapat di persepsikan oleh masyarakat yang dapat membedakan faktor- faktor lain di samping adanya sumber-sumber pendapatan dan tantangan-tantangan. Sumber dan tantangan dilihat sebagai cluster/pengelompokan yang memiliki nilai tertentu, misalahnya: "wilayah yang menghasilkan dengan aman", "wilayah yang tidak menghasilkan walaupun aman", "wilayah yang menghasilkan tetapi berbahaya" dan "wilayah yang tidak menghasilkan dan tidak aman". Untuk bergerak maju dalam lingkungan seperti ini diperlukan pemikiran, pertimbangan dan juga organisasi. Atau dengan kata lain, diperlukan konsentrasi sumber daya operasional, ketaatan terhadap rencana umum dan pengembangan sistem-wewenang yang jelas, agar dapat mencapai tujuan. Masyarakat akan bertendensi untuk menyu- sun dirinya dalam pengorganisasian yang cukup rumit, dengan hierarki yang ketat dan dengan kontrol serta kondisi yang dipusatkan secara sentral.
  Distrubed-reaktive environment: corak ini agak sama de- ngan tipe b, namun adanya kelompok-kelompok sosial lain, yang bergerak di dalam lingkungan yang sama. Gerakan kelompok-kelompok lain dapat dipersepsikan sebagai gangguan. Khususnya sebagai saingan kalau mempunyai tujuan sama dengan masyarakat itu sendiri. Jadi lingkungan tersebut tidak bersifat statis tenang melainkan memperlihatkan juga reaksi- reaksi terhadap gerakan masyarakat itu oleh kelompok-kelompok saingan tadi. Dengan demikian, gerakan maju masyarakat tidak hanya ditentukan oleh lokasi-lokasi lingkungan yang menguntungkan atau membahayakan, melainkan juga dipenga- ruhi oleh kapitalis dan kekuatan masyarakat itu untuk bergerak menurut rencana tertentu, yang mengindahkan saingan-saingan yang mempunyai kekuatan dan rencana juga.
  Distrubed Turbulent Field: lingkungan dipersepsikan se- bagai sesuatu yang sangat kompleks dan dinamis. Berbeda dengan tipe c, dimana dinamika ditimbulkan oleh adanya interaksi antar kelompok-kelompok yang saling bersaing, maka tipe ini lingkunganya sendiri yang selalu berubah dan bergolak, disamping adanya interaksi antar berbagai kelompok sosial.
  Mengingat pelbagai pertimbangan kontekstual-sosial ter- sebut, maka strategi pendekatan untuk penguatan institusi berbasis warga tidak bisa digeneralisir. Yang jelas (jangan sampai terlupakan), langkah pertama yang harus dilakukan untuk memperkuat institusi berbasis warga adalah mengidentifikasi dan memahami situasi kontekstual-sosial dimana penguatan institusi tersebut dilakukan. Secara lebih sistematis, Norman Uphoff (1986) menjelaskan aspek-aspek (strategi) yang dapat dilakukan untuk mendorong penguatan institusi lokal, sangat tergantung pada kontekstual-sosial yang ada. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah: Pertama, Dukungan (Support), dimana bentuk dukungan terhadap sistem sosial yang ada sangat bervariasi. Menurut Uphoff, setidak-tidaknya ada tiga model dukungan yang bisa dilakukan, yaitu: Pertama, Existing Local Institutional': Source of Initiative Strong-Weak, Local- Asistance, Shared-Facilitation, Outside-Promotion. Kedua, Mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Bentuk dan aspek ini sangat beragam, mulai dari pendidikan,pelatihan sampai pada pembelajaran dari proses (learning by doing) yang mungkin akan terjadi peningkatan kapasitas ketika dihadapkan pada benturan-benturan 'yang dialaminya. Ketiga, Penguatan legitimasi dan kapasitas institusi, seperti penguatan responsibilitas dan transparansi pada konstituennya, 'chanelling dari berbagai pihak yang mempunyai hubungan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung, penguatan ja- ringan informasi dan komunikasi, dan sebagainya. Keempat, Penguatan manajemen mobilisasi sumber daya (resources mobilization management.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H