Mohon tunggu...
Yulia Citra Dewi
Yulia Citra Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa IAIN JEMBER -

Selanjutnya

Tutup

Money

Perbedaan Konsep Ekonomi Moneter Konvensional dan Konsep Ekonomi Moneter Islam

10 September 2017   13:34 Diperbarui: 10 September 2017   14:16 25613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekonomi Moneter merupakan suatu cabang ilmu ekonomi yang membahas tentang peranan uang dalam mempengaruhi tingkat harga-harga dan tingkat kegiatan ekonomi dalam suatu Negara yang bertujuan untuk menjaga tingkat kestabilan harga dan juga mengatur tingkat tinggi rendahnya inflasi. Ekonomi moneter merupakan salah satu instrument penting dalam perekonomian modern.

Dalam ekonomi modern terdapat dua kebijakan perekonomian yang di jadikan istrumen oleh pemerintah dalam menstabilkan perekonomian suatu Negara. Yang pertama adalah kebijakan fiksal, yaitu kebijakan yang di ambil pemerintah untuk membeanjakan pendapatannya dalam merealisasi tujuan-tujuan ekonomi.  Yang kedua adalah kebijakan moneter, yaitu langkah pemerintah untuk mengatur penawaran dan tingkat bunga.

Ada dua jenis system moneter, yaitu system moneter konvensional dan system moneter islam. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjaga stabilitas sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang di harapkan dapat tercapai. Hanya saja dalam ekonomi moneter islam terjadi penghapusan bunga dan penerapan LPS. Dalam tulisan ini saya sebagai penulis akan menyajikan konsep-konsep dasar ekonomi moneter konvensional dan ekonomi moneter islam.

Dalam pandangan  ekonomi konvensional maka tujuan memegang uang terdiri dari tiga keinginan, Pertama,yaitu tujuan transaksidalam rangka membayar pembelian-pembelian yang akan mereka lakukan. Kedua, tujuan berjaga-jaga sebagai alat untuk menghadapi kesusahan yang mungkin timbul dimasa yang akan dating. Ketiga, tujuan spekulasi dimana pelaku ekonomi dengan cermat mengamati tingkat bunga yang berlaku saat itu. jika menguntungkan bila di bandingkan investasi maka masyarakat cenderung mendepositokan uangnya, dengan harapan mendapat imbalan bunga.

 Dalam ekonomi moneter konvensional maka tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan moneter. Bentuk kebijakan moneter ini terdiri dari kebijakan moneter kuantitatif dan kebijakan moneter kualitatif. Kebijakan moneter kuantitatif merupakan suatu kebijakan umum yang bertujuan untuk mempengaruhi jumlah penawaran uang dan tingkat bunga dalam perekonomian. Yang terdiri dari operasi pesar terbuka, mengubah tingkat bunga dan tingkat disconto, dan mengubah tingkat cadangan minimum. Sedangkan kebijakan moneter kualitatif dapat berupa pengawasan pinjaman secara kolektif, pembujukan moral, dan mengambil asumsi.

Dalam pandangan  ekonomi moneter islam, tidak mengutamakan suku bunga. Bahkan sejak zaman rosulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa menggunakan instrument bunga sama sekali. Sedangkan dalam pandangan kebijakan moneter konvensional bunga ini menjadi hal yang sangat dominan bias di lihat dari fungsi uang dalam kebijakan ekonomi moneter salah satunya adalah tujuan spekulasi. Maka tujuan memegang uang dalam pandangan ekonomi moneter islam terdiri dari dua keinginan, yaitu tujuan transaksi dan tujuan berjaga-jaga.

Selain melarang riba, ekonomi moneter islam juga melarang penumpukan harta atau bisa juga di sebut iktinaz. Iktinaz memang jarang di bahas dalam masalah perekonomian dan lebih terfokus kepada pembahasan riba. Tapi iktinaz juga sangat berpengaruh pada keuangan suatu Negara.  

Islam secara tegas melaraang praktik penimbunan uang. Praktik ini adalah praktik yang sangat merusak, sama halnya dengan riba. Menurut imam Al-Ghazali, fitrah uang adalah Allah menciptakan uang adalah untuk di transaksikan, bukan hanya di simpan. Pada QS At-Taubah, 9 : 34-35 di jelaskan praktik apa yang dapat dikatakan sebagai praktik iktinaz. 

Yaitu mereka yang hanya menyimpan uang mereka dan tidak mengeluarkan harta mereka untuk di nafkahkan pada jalan Allah. Praktik iktinaz lainnya adalah mencetak emas dan perak untuk di jadikan ornament-ornamen penghias gedung dimana emas dan perak kala itu adalah mata uang. Hal itu juga mendapat perhatian iman Al-Ghazali sehingga beliau juga melaknat praktik itu sebab bertentangan dengan fitrah fungsi uang.

Iktinaz sebenarnya memiliki hubungan dengan riba. Kembali kepada pembahasan bahwa banyak kajian ekonomi islam yang terfokus pada riba. Kajian-kajian tersebut mengkaji riba dimana riba berada disisi penawaran pada kurva penawaran uang. Pada system moneter, penawaran uang dan permintaan uang bersama-sama menentukan jumlah uang beredar serta harga dari uang tersebut. 

Penawaran uang adalah berapa jumlah uang yang di berikan atau di sediakan. Sebagai contoh bank sentral mencetak uang bertambah sehingga jumlah uang beredar juga bertambah. Contoh lain adalah ketika bank umum menyalurkan kredit pinjaman. Bagaimana kredit di salurkan, bagaimana uang di cetak, bagaimana system perbankan bekerja didalam penyediaan uang, adalah cakupan dari pembahasan riba. Padahal iktinaz juga penting.

Sebuah system moneter tidak bicara mengenai sisi penawarannya saja. Namun juga sisi permintaannya. Permintaan uang adalah berapa banyak uang yang seoarang ingin bawa di dalam dompetnya atau di simpan di rumahnya. Ketika masyarakat sedang membutuhkan uang dalam bentuk cair . maka kemungkinan besar permintaan uang cenderung meningkat. Maka pembahasan pada permintaan uang masuk ke dalam cakupan bahasan iktinaz.

Iktinaz juga memiliki hubungan yang erat dengan zakat. Sebagian ulama berpendapat bahwaharta yang di tahan dan sudah di keluarkan porsi zakatnya sudah tidak dapat di kategorikan sebagai iktinaz. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa meskipun porsi zakatnya telaah di tunaikan, harta tersebut masih dapat di kategorikan sebagai iktinaz. Sebab Allah memerintahkan seorang muslim untuk berzakat bukan karena agar harta tersebut tidak di kategorikan iktinaz. Meskipun demikian, tidak di pungkiri bahwa zakat memiliki afek disinsentif bagi orang-orang yang menimbun hartanya. Sebab zakat dikenakan kepada harta yang tidak produktif.

Seorang muslim adalah yang berkonsumsi secara moderat, tidak bersusah payah, tidak juga bermegah-megah sehingga seorang muslim harus cerdas menghitung kebutuhannya. Maka motif berjaga-jaga di perbolehkan selama tidak melampaui batas dan berdasarkan atas kebutuhan bukan keinginan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun