Mohon tunggu...
Yulia Eka Sari
Yulia Eka Sari Mohon Tunggu... Akuntan - Pejalan Kaki

Temui aku dalam lembar buku-buku dan jeda dalam kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Money

Kecanggihan Adat untuk Revolusi 4.0 Pertanian Indonesi

22 Mei 2019   23:52 Diperbarui: 22 Mei 2019   23:56 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seren Taun Desa Cipta Gelar/Kompas.com
Seren Taun Desa Cipta Gelar/Kompas.com

Dibanding solusi  untuk mengembangkan peralatan pertanian yang akan digunakan dalam revolusi industri 4.0 pertanian, sebenarnya tanpa kita sadari ada yang telah bergerak lebih maju dalam swasembada pangan. Dan mereka yang bergerak maju ini berasal dari masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang dipelopori oleh pemuda dalam pergerakannya. Diantaranya

Pertama, masyarakat Baduy yang rata-rata memiliki penghasilan 56 juta dalam setahun atau 4,6 juta dalam sebulan. Dan penghasilan tersebut mereka peroleh dari kekayaan alam  pertaniannya. Uniknya masyarakat baduy hanya mengelola 1 kali tanam padi dalam setahun, tanpa menggunakan pupuk kimia. Masyarakat Baduy mengajarkan untuk mengambil dari alam secukupnya tanpa eksploitasi berlelbihan. Karena alam menurut mereka harus dijaga. Agaknya ini menjadi pesan bagi pelaku usaha atau perhatian bagi pemerintah bahwa dalam mencapai tujuan tidak harus dengan eksploitasi berkelebihan yang akhirnya merusak alam. Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka menganggap alam sebagai aset berharga yang harus tetap dijaga. Dengan contoh kecil ini, pemuda Baduy menjadi penerus untuk  tetap menjaga alam dan mampu berswasembada pangan.

Kedua, Bumi Ciptagelar, Sukabumi.  Terdapat 568 kampung dengan 30.000 jiwa, 5000 hektar lahan dan memiliki 8000 lumbung padi (ketersedian pangan 3 tahun masyarakatnya). Masyarakat adat disini pun idak menggunakan pupuk kimia dan hanya panen satu kali dalam satu tahun. Alasan panen dan menanam satu kali dalam satu tahun adalah untuk menjaga siklus hama. Meski demikian mereka tetap memiliki lumbung padi yang cukup untuk warganya. Menurut Ugi Sugriana, pemuda yang memimpin kesepuhan masyarakat adat ini, mereka bahkan masih memiliki 120 varietas padi yang masih terjaga dan digunakan. Selain itu menurut Ugi yang terpentinga adalah sistem pengolahan lahannya, di cipta gelar 50 persen lagan adalah hutan titipan, 30 persen hutan tutupan dan 20 persen adalah lahan sawah dan pertanian termaksud tempat tinggal mereka. Mereka hanya menggunakan 5 persen dari lahan mereka untuk bertani.

Jika kita merujuk ke Indonesia dengan 180 juta hektar, seharusnya 5 persen sevanyak 8,1 juta hektar lahan pertanian mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dari Indonesia. Tidak dengan melakukan eksploitasi berlebihan untuk lahan pertanian, masyarakat Ciptagelar menujukkan bahwa hutan dan tata ruang harus tetap dijaga.

Ketiga, Kemadirian dalam penyediaan pupuk ditunjukkan oleh  Manggarai Barat, Lombok yang berjulukan Iconic Island. Di daerah ini masih terdapat sawah jaring laba-laba dengan pertanian organik. Awalnya petani disini dihadapakan dengan kondisi cuaca yang membuat kapal yang mengangkut pupuk tidak bisa datang tepat waktu. Pada akhirnya mereka berpikir untuk harus mampu memproduksi pupuk sendiri tanpa ahrus berkegantungan dengan pemerintah.  

Mereka membuat pupuk cair dari kotoran ternak dicampur dengan urin manusia dan tanaman yang membusuk. Salah satu tokoh  yang memulia penggunan pupuk oranik tersebu adalah Rahmat Adrinata. Prinsipnya adalah mengahargai yang tidak berharga hingga punya nilai. Salah satunya urin manusia yang dijadikan pupuk organik. Ia bercita-cita Sumba sekian puluh tahun kedepan menjadi pulau organik. Demi tujuan itu, Rahmat membina petani lokal dengan menyewa 4 hektar lahan untuk di jadikan eksperimen pertanian organik. 4 hektar lahan tersebut mampu memporduksi tanaman Pakcoi yang dipanen 27 hari sekali dengan harga 5 ribu perbatang yang hanya menelan baiya produksi 500 rupiah perbatangnya. Suatu penghematan biaya produksi yang mampu dilakukan oleh pertanian organik yang bisa menjadi contoh bagi pengembangan pertanian di Indonesia.

Pada akhirnya, dari banyak contoh diatas. Kemampuan petani lokal dan masyarakat adat untuk mandiri secara pupuk dan mampu swasembada pangan bisa menjadi acuan pemerintah dalam mengembangkan pertanian berbasis teknologi di era revolusi industri 4.0. Kesederhanaan untuk mengkonsumsi secukupnya bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita yang selama ini masih membuang makanan yang berasal dari pangan. Dalam lingkup besarnya, adat tenyata mampu menghasilkan produksi pertanian yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan pupuk buatan. Adat disini dapat kita katakan canggih. Tapi kecanggihan yang pertanian kita punya adalah kearifan dan kebijaksanaan dari petani dalam mengelola lahannya untuk tidak serakah. Semangay inilah, semangat menjaga alam yang eprlu ditularkan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 dalam pertanian. Agar kelak, tanah surga kita ini tetap bernama tanah surga yang mampu dirasakan oleh anak cucu kita. Bukan lahan gersang yang berdebu. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun