Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jalan cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman (Kolam Susu-Koes Plus)
Masih ingat dengan tembang lagu diatas bukan. Sebuah sentilan juga ungkapan kekaguman atas berkahnya negeri kita ini. Tidak ada kekurangan satu apapun. Segala kebutuhan untuk manusia hidup ditunjang penuh oleh alam negeri kita, Indonesia. Ada tanah yang begitu subur menumbuhkan aneka jenis tanaman, air yang mengalir dengan jernih, udara yang besih, juga limpahan kekayaan alam lainnya yang tersimpan diperut bumi Indonesia. Semuanya adalah limpahan energi yang jika dimanfaat dengan baik tentunya cukup untuk membuat  penduduk Indonesia hidup makmur dan mandiri. Salah satunya dalam bidang pertanian. Namun benarkah demikian?
Dalam Debat Capres, Presiden Jokowi mengatakan bahwa  sejak 2014 impor beras turun. Pada tahun 2018, produksi beras nasional mencapai 33 juta ton, sementara tingkat konsumsi kita hanya 29 juta ton. Ada surplus 3 juta ton. Selain itu, menurut Jokowi Indoensis juga sudah mampu mengurangi impor jagung setidaknya 3,3 ton dalam tiga tahun terakhir. Yang pada 2014 sebanyak 3,5 juta ton, pada 2018 menjadi 180 ribu ton.
Namun menurut Pengamat Pertanian Dwi Andreas Antosa, impor pangan malah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Salah satunya komoditas beras. Pada pemerintahan sebelumnya rata-rata impor beras sebanyak 0,9 juta ton per tahun. Sementara pada masa pemerintahan baru, rata-rata impor beras 1,2 juta ton per tahun. Selain itu 21 komoditas pangan juga mengalami kenaikan impor yakni pada 2014 18,2 juta ton dan pada 2018 Â menjadi 22 juta ton. Artinya mengalami kenaikan hingga 4 juta ton dalam 4 tahun terakhir.
Meski demikian, dengan pencapain pertanian nasional yang  masih disertai impor, dalam empat tahun kebelakang pencapaian Indonesia melompati 12 negara besar seperti Jerman dan Cina dalam percapaian pertaniannya. PDB pertanian  mengalami kenaikan selama 2013 sebesar Rp 900 T hingga 2018 menjadi Rp 1.460 T. Kenaikan PDB ini menduduki peringkat kelima di dunia dari 222 negara.
Menuju Revolusi Industri 4.0 dalam Pertanian
Melihat potensi Indonesia untuk menjadi lumbung pangan dunia pada 2045, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mendorong revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 sendiri  adalah bagaimana teknologi seperti kecerdasan buatan, kendaraan otonom digunakan untuk kehidupan manusia. Singkatanya dalam pengelolaan pertanian akan berbasis teknologi
Sektor pertanian nantinya akan menggunakan berbagi jenis aplikasi yang bertujuan utuk membantu petani. Semisal aplikasi sistem monitoring pertanaman (Simotandi) yang menggunakan citra satelit beresolusi tinggi untuk bisa membaca stansing crop tanaman padi. Â Juga akan ada autonomous tractor, smart irigation, kalender tanam. Mekanisme pertanian ini pada diharapkan akan mampu mengefesiensi biaya dan waktu sehingga hasil pertanian semakin produktif. Dengan demikian jelas bahawa mekanisme ini mendukung pelaku usaha untuk meningkatkan keuntungan.
Akhirnya banyak pelaku usaha dari perusahaan mulai membuka lahan diberbagai wilayah Indonesia. Tak terkeculi pemerintah. Salah satu area yang dilirik yakni Merauke. Merauke sendiri adalalah penghasil tanaman padi terbesar di Papua. Berdasarkan BPS, angka produksinya mencapai 153.661,09 ton pada 2015. Daerah ini sudah mulai dilirik sejak zaman pemerintahan SBY yang melahirkan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE), yang dilanjutkan oleh Presidena Jokowi dengan nama Merauke Integrated Food and Energy (MIFEE). Potensi lahan yang bisa dikembangkan adalah 4,6 juta hektar. Dengan target pemerintah sebanyak 1,2 juta hektar. Belum termaksud dengan swasta.
Potensi ini pada akhirnya dapat menjadi angin segar maupun malapetaka bagi masyarakat lokal. Tercatat selama 2013 terdapat 43 titik api, 2014 144 titik api dan 2015 164 titik api yang disebabkan oleh pembukaan lahan oleh salah satu perusahaan swasta. Seain itu pembukaan lahan juga bentrok dengan kawasan hutan sagu tempat masyarakat adat mencari makan. Masyarakat tidak lagi bisa memanen pohon sagu, karena hutan mereka terus menerus dijadikan lahan untuk pertanian.
Hal tersebut menjadi permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Karena pembukaan lahan yang bertujuan untuk swasembada pangan nasional dengan bonus bisa menjadi lumbung pangan dunia pada 2045, pada akhirnya malah menggerus pangan dari masyarakat lokal yang ingin disejahterahkan.
Selain itu yang dihadapi oleh pemerintah dalam penerapan teknologi dalam pertanian juga masih banyak, diantaranya kertersedian sumber daya, ketersediaan teknologi untuk semua petani yang terjangkau harganya, dan terlebih skill dari petani sendiri. Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan anak muda sebagai bonus demografi Indonesia 2025 untuk mulai bergerak dalam sektor pertanian. Pelatihan dan pengembangan pemuda perlu dilakukan oleh pemerintah, mengingat bukan hanya pemuda sebagai motor penggerak perubahan. Namun pemudalah yang juga lebih mampu untuk beradaptasi dan mengenal lingkungan tempat tinggalnya masing-masing.
Mencontoh Swasembada Revolusi 4.0 Ala Adat
Dibanding solusi  untuk mengembangkan peralatan pertanian yang akan digunakan dalam revolusi industri 4.0 pertanian, sebenarnya tanpa kita sadari ada yang telah bergerak lebih maju dalam swasembada pangan. Dan mereka yang bergerak maju ini berasal dari masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang dipelopori oleh pemuda dalam pergerakannya. Diantaranya
Pertama, masyarakat Baduy yang rata-rata memiliki penghasilan 56 juta dalam setahun atau 4,6 juta dalam sebulan. Dan penghasilan tersebut mereka peroleh dari kekayaan alam  pertaniannya. Uniknya masyarakat baduy hanya mengelola 1 kali tanam padi dalam setahun, tanpa menggunakan pupuk kimia. Masyarakat Baduy mengajarkan untuk mengambil dari alam secukupnya tanpa eksploitasi berlelbihan. Karena alam menurut mereka harus dijaga. Agaknya ini menjadi pesan bagi pelaku usaha atau perhatian bagi pemerintah bahwa dalam mencapai tujuan tidak harus dengan eksploitasi berkelebihan yang akhirnya merusak alam. Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka menganggap alam sebagai aset berharga yang harus tetap dijaga. Dengan contoh kecil ini, pemuda Baduy menjadi penerus untuk  tetap menjaga alam dan mampu berswasembada pangan.
Kedua, Bumi Ciptagelar, Sukabumi.  Terdapat 568 kampung dengan 30.000 jiwa, 5000 hektar lahan dan memiliki 8000 lumbung padi (ketersedian pangan 3 tahun masyarakatnya). Masyarakat adat disini pun idak menggunakan pupuk kimia dan hanya panen satu kali dalam satu tahun. Alasan panen dan menanam satu kali dalam satu tahun adalah untuk menjaga siklus hama. Meski demikian mereka tetap memiliki lumbung padi yang cukup untuk warganya. Menurut Ugi Sugriana, pemuda yang memimpin kesepuhan masyarakat adat ini, mereka bahkan masih memiliki 120 varietas padi yang masih terjaga dan digunakan. Selain itu menurut Ugi yang terpentinga adalah sistem pengolahan lahannya, di cipta gelar 50 persen lagan adalah hutan titipan, 30 persen hutan tutupan dan 20 persen adalah lahan sawah dan pertanian termaksud tempat tinggal mereka. Mereka hanya menggunakan 5 persen dari lahan mereka untuk bertani.
Jika kita merujuk ke Indonesia dengan 180 juta hektar, seharusnya 5 persen sevanyak 8,1 juta hektar lahan pertanian mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dari Indonesia. Tidak dengan melakukan eksploitasi berlebihan untuk lahan pertanian, masyarakat Ciptagelar menujukkan bahwa hutan dan tata ruang harus tetap dijaga.
Ketiga, Kemadirian dalam penyediaan pupuk ditunjukkan oleh  Manggarai Barat, Lombok yang berjulukan Iconic Island. Di daerah ini masih terdapat sawah jaring laba-laba dengan pertanian organik. Awalnya petani disini dihadapakan dengan kondisi cuaca yang membuat kapal yang mengangkut pupuk tidak bisa datang tepat waktu. Pada akhirnya mereka berpikir untuk harus mampu memproduksi pupuk sendiri tanpa ahrus berkegantungan dengan pemerintah. Â
Mereka membuat pupuk cair dari kotoran ternak dicampur dengan urin manusia dan tanaman yang membusuk. Salah satu tokoh  yang memulia penggunan pupuk oranik tersebu adalah Rahmat Adrinata. Prinsipnya adalah mengahargai yang tidak berharga hingga punya nilai. Salah satunya urin manusia yang dijadikan pupuk organik. Ia bercita-cita Sumba sekian puluh tahun kedepan menjadi pulau organik. Demi tujuan itu, Rahmat membina petani lokal dengan menyewa 4 hektar lahan untuk di jadikan eksperimen pertanian organik. 4 hektar lahan tersebut mampu memporduksi tanaman Pakcoi yang dipanen 27 hari sekali dengan harga 5 ribu perbatang yang hanya menelan baiya produksi 500 rupiah perbatangnya. Suatu penghematan biaya produksi yang mampu dilakukan oleh pertanian organik yang bisa menjadi contoh bagi pengembangan pertanian di Indonesia.
Pada akhirnya, dari banyak contoh diatas. Kemampuan petani lokal dan masyarakat adat untuk mandiri secara pupuk dan mampu swasembada pangan bisa menjadi acuan pemerintah dalam mengembangkan pertanian berbasis teknologi di era revolusi industri 4.0. Kesederhanaan untuk mengkonsumsi secukupnya bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita yang selama ini masih membuang makanan yang berasal dari pangan. Dalam lingkup besarnya, adat tenyata mampu menghasilkan produksi pertanian yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan pupuk buatan. Adat disini dapat kita katakan canggih. Tapi kecanggihan yang pertanian kita punya adalah kearifan dan kebijaksanaan dari petani dalam mengelola lahannya untuk tidak serakah. Semangay inilah, semangat menjaga alam yang eprlu ditularkan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 dalam pertanian. Agar kelak, tanah surga kita ini tetap bernama tanah surga yang mampu dirasakan oleh anak cucu kita. Bukan lahan gersang yang berdebu. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H