"Hok'oh! Kita kalau ke sana seperti pengemis," Cah Bagus pun nyletuk.
"Wis, wis...bocah cilik ngertimu opo Le, Mateng pincuk ke. Wis, meneng wae.
Kalimat di atas memiliki arti, sudah-sudah...anak kecil tahunya apa, Le? Matang bungkus wae. Dah, diam saja.
Purba menghela napas panjang, sebelum ia meneruskan kalimatnya.
"Begini ya, Dik Arya. Mumpung masih suasana lebaran, ayuk saling silaturahmi, mengunjungi kerabat selagi kita masih diberi kesempatan. Lalu meminta maaf, pula saling bermaaf-memaafan. Sebab, setiap manusia hidup, tentu mempunyai kesalahan."
"Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Karena Mas Probo dan keluarganya tidak pernah mengunjungi kita, ya biarin. Yang penting kita tidak membalas dengan hal serupa, apalagi memutuskan tali silaturahmi. Itu dosa."
Ingatlah, Pakdemu itu Kakak tertuanya ibu. Jadi kedudukannya sama seperti ibu ini. Kalian tidak boleh membeda-mbedakan dengan Pakde dan Bude lainnya.
Lagi pula, jika hati kita memiliki rasa benci dan dendam terhadap seseorang, itu sama halnya memikul beban selamanya. Mau, seperti itu?
Arya dan Cah Bagus, putra kesayangan Purba hanya menggerakkan bahunya secara bersamaan pertanda "pasrah" dan menuruti wanita yang selalu ia hormati.
***