Nyatanya, dijajah Jepang semakin memperburuk keadaan. Pasalnya Jepang melarang pengibaran Bendera Merah Putih, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya pun dilarang.Â
Pula memaksa masyarakat Indonesia melakukan Seikerei( menyembah Matahari). K. H Hasyim Asy'ari pun menolak karena tindakan tersebut menyimpang dari aqidah agama Islam.
Suatu ketika, para pengurus pondok berkumpul untuk memperketat penjagaan pesantren, terutama pada keluarga Kiai karena tentara Jepang menangkap para Kiai lain.Â
Pada saat itulah muncul anak laki-laki yang taklain adalah Gusdur kecil ikut nimbrung  bersama ayahnya( Wahid Hasyim).Â
Suatu hari, penjagaan pun jebol, tentara Jepang berhasil memasuki pondok serta menakuti santri dengan tembakan mesinnya.Â
Akhirnya Sang Kiai pun menyerah, bersedia ditangkap, karena Jepang mengancam hendak membakar pondok. Sang Kiai juga dituduh memprovokasi santri untuk melakukan kerusuhan di pabrik Cukir.
Salah satu pengurus pesantren yang merupakan K.H Wahid Hasyim yang tak lain salah satu putra Kiai Hasyim Asy'ari serta para santri dan dan tokoh agama menghimpun kekuatan untuk melawan Jepang.
Taktik yang digunakan dengan cara berpura-pura bekerja sama dengan Jepang pula memanfaatkan fasilitasnya.Â
Perjuangannya tidsk sia-sia,  berkat bantuan  A. Hamid Ono, petinggi Jepang pun melepaskan para Kiai yang ditangkap.Â
Berakhirnya film besutan sutradara Rako Prijanto tersebut ditandai dengan wafatnya Sang Kiai, di saat tokoh nasional lain membutuhkan wejangan dari beliau.
Mangkatnya Sang Kiai meninggalkan duka mendalam tidak hanya bagi keluarga, para santri serta segenap kalangan masyarakat.Â