Ketika senja di ujung purnama, bersamamu melakoni kisah. Serasa ada ribuan pilu membalut hatiku. Merebaknya warta, jika diriku bukanlah satu-satunya wanita pengisi relung hatimu. Bahkan ketika kutahu dirimu mendua hati, aku masih kokoh di sampingmu. Ah, bodohnya aku.
Semua karena adanya sebuah keyakinan, aku tetap ingin berjuang. Ya, memperjuangkan mu di setiap munajad panjang. Kuderaskan segenap doa dan harapan. Sehingga aku tak ingin beranjak. Apalagi jika harus berpindah ke lain tempat.Â
Kau tahu alasanku?
Sebab, hati tertawan olehmu. Sekalipun aku hanya meringkuk dalam sudut hatimu. Yakinku tetap tergaung, kau diciptakan untukku. Ya, semenjak pertemuan yang menurutku menjadi "takdir" yang tertulis.
Kau melengkapi hidupku di antara senja yang bergulir. Tapi itu dulu. Sekali lagi kukatakan, itu dulu. Sebelum diriku memahami seberapa pentingnya aku dalam hidupmu.
Pelan-pelan aku mulai beranjak, meski sebenarnya hatiku menolak. Ketika kau kembali membawa secawan candu, kembali aku menyambutmu. Ah, inikah cinta?
Nyatanya aku masih merindukamu, dan ingin selalu di sisimu.
Sekalipun kedatanganmu bukan untuk membahas tentang kita, bahkan kau bercakap tentang impianmu. Bodohnya aku, terlena dan hanyut dalam cakapmu. Aku juga takbisa membaca gelagatmu.
"Alisa, apa kabar?"
Percakapan pembuka yang sederhana, dan terlalu sering kau ucapkan setelah menghilang beberapa pekan. Sebenarnya kau tahu aku baik-baik saja. Satu yang tidak kuungkap, sebenarnya, "Aku Masih Merindukanmu" hingga detik itu.
Aku juga rindu panggilan khususmu untukku. Bukan sapaan nama yang sering kau ucapkan. Ya, setelah beberapa purnama mungkin kau lupa. Atau mungkin kau melupakannya?
Melupakan panggilanku dengan sebutan yang hanya kau seorang yang menyebutnya. Panggilan yang membuatku jatuh cinta.
Lantunan doa menderas dalam sujud panjang. Namun jawabnya sebuah kabar yang menyakitkan. Meski demikian, hidup tetap berlanjut. Kabar bahagiamu takmampu menenggelamkanku di kubangan lumpur sembilu.Â
Maaf, jika aku keluarkan jurus egoku, meskipun hanya sekali waktu. Mengharap kau menoleh ke arahku seiring uluran tangan itu. Namun rasanya itu tidak mungkin, sekalipun kau berucap tak bahagia bersamanya.
Aku menulis larik demi larik bukan untukmu. Namun sebagai "memoar" yang selalu mengingtkan betapa lebih penting bahagia ketimbang cinta. Dan bahagiaku ada di depan mata.
#Merindukanmu
#Senandika03
#Tulisanke-433
#Klaten,15 Maret2023
#MenulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H