Masih melekat dalam ingatan, pada suatu masa remaja, saya, nenek dan adik sedang sakit silih berganti. Dalam hal ini, kondisi saya sakinya paling parah. Hingga tidak tidak bisa menelan obat, sekalipun butiran penawar diperkecil menjadi empat bagian.
"Lha kapan mari, obate metu terus? [ Lha kapan sembuh, obatnya keluar terus? satu-satunya jalan harus dirujuk ke Rumah sakit untuk pembedahan organ dalam!" ujar ahli kesehatan pada waktu itu.
Setiap kita manusia bila sakit tentunya mengingkan kesembuhan tanpa adanya pembedahan, bukan? begitu pula saya. Maka, keluarga tidak patah semangat, tetap berdoa, berikhtiar semampunya.
Saat itulah, Allah menjawab lantunan doa ibu. Atas izin-Nya, melalui jemari tangannya, yang terampil meracik butiran obat hingga menjadikannya serbuk halus.
Tangan ibu menghaluskan obat, lalu mencampurnya dengan sedikit air. Dengan sabar dan telaten menyuapi sesendok demi sesendok penawar ke mulut saya.Â
Pahit, pasti iya. Sebab, butiran yang dihaluskan kemudian dicampur air menumbuhkan rasa pahit yang begitu melekat.Â
Namun, siapa sangka, justeru cara tersebut mampu mengguyur luka dalam. Dan...beberapa pekan kemudian, saya dinyatakan sembuh.
 Alhamdulillah. Saat merawat nenek dan adik, ibu juga sabar dan telaten mengatur jadwal makan serta minum obatnya hingga semua pulih seperti sedia kala.
Menjalani hidup sederhana, wajahnya laksana permata
Sebagai ibu rumah tangga, ibu menjalani hidup dengan kesederhanaan. Tetap bekerja tanpa kenal lelah, mengupayakan hal terbaik bagi keluarganya.Â
Bahkan, takjarang ia beraktivitas sedari jelang matahari terbit hingga mata suami terpejam di peraduan, ibu masih mengurus pernak-pernik pekerjaan, hingga jelang ia merebahkan kepala di pembaringan.
Ibu menjalani dengan ihklas, keihklasan, kemurahan hatinya, membuat parasnya laksana permata. Dan bukan karena polesan tabir surya.