Katering "Pram Boga" tertera di sana dengan berbagai menu yang ditawarkan. Seketika seleraku lenyap seiring munculnya kenangan tentangmu dalam benak.Â
Bahkan hingga hidangan utama serta penutup jelang disajikan. Aku terdiam dalam lamunan.
'Kenapa juga Pramesthi memesan katering ini. Apa ia sengaja, membangkitkan duka lamaku? awas, ya!" batinku.'
"Buruan dimakan, Put!. Coba lihat, tamu di depan mempelai sudah mendapat makanan," ujar Deya sembari mendongakkan kepalanya.
Aku hanya menolah sekilas, lalu kembali menatap sepiring Selat Solo.
'Seandainya dulu tidak bertemu, dan berkisah tentang kuliner Khas Solo yang membuatnya populer, mungkin aku akan menikmati menu ini. Suguhan ini menjadi pukulan terhebat sepanjang perpisahan kita, Pram.'
 Â
Saat teringat tentangnya, seseorang yang telah berjubel dalam rongga hatiku sekian lama. Bahkan telah berhasil menyulam benang asmara.
Sebuah jalinan kasih yang pada akhirnya harus kandas terhalang adanya perbedaan prinsip. Mungkin ini bagian terkecil dari apa yang takingin kuingat, setelah tiga tahun terakir.
Aku masih pandai menyimpan pilu serta memagut luka yang masih tersisa darimu. Bagiku tiada yang benar-benar memilukan selain perpisahan.
Ya, sebuah perbedaan yang takbisa disatukan. Aku tidak bisa melarangmu ketika kau berharap dengan cara menangkupkan kedua tangan di dada.
Begitupun sebaliknya, ketika aku bermunajat dengan menengadahkan kedua tanganku.
"Put...,"Â