Mohon tunggu...
Yuliyanti
Yuliyanti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yuli adja

Yuliyanti adalah seorang Ibu Rumah Tangga memiliki kesibukan mengurus bisnis keluarga, Leader paytren, Leader Treninet. Sebagai penulis pemula telah meloloskan 7 antologi. Penulis bisa ditemui di IG: yuliyanti_leader_paytren Bergabung di Kompasiana 20, Oktober 2020

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tiga Peribahasa Saya Jadikan Landasan dalam Kehidupan

13 Juni 2021   16:41 Diperbarui: 14 Juni 2021   09:26 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar https://m.facebook.com/kominfodiy/posts/belajar-falsafah-jawa-nrimo-ing-pandumnrimo-ing-pandum-memiliki-arti-menerima-se/159795212370

"Makna Peribahasa jadi Landasan dalam kehidupan"

Saya tidak tahu sejak kapan peribahasa itu ada, karena Bapak tidak pernah bercerita asal-muasalnya. Akan tetapi, sejak saya kecil beliau banyak mengajarkan tentang kehidupan. Kemudian, makna yang terkandung di dalam petuah tersebut saya jadikan landasan hidup.


Sejalan dalam penggalan kehidupan, tatkala bersemayam masa sulit kita harus pandai mengolah duit. Mungkin itu kata yang tepat tersematkan kala hidup serba kekurangan.

Masa-masa sulit awal mula kisah, kala bekerja di sebuah Toko Material. Beberapa bulan lalu saya pernah menganggit artikel tersebut di laman Kompasiana.

Pada awalnya saya merasa senang, setelah merasakan kebersamaan menghirup udara segar mencari recehan penghidupan di tempat tersebut.

Waktu pun berlalu begitu cepat, tak terasa enam bulan hampir lewat dalam kisah pengembaraan.

Hari-hari terlewati jauh dari keluarga, di tempat kerja ini setidaknya satu hingga dua pekan sekali bisa pulang melepas rindu. Namun, selang berjalannya waktu tumbuh rasa tidak kerasan. Karena upah yang diberikan pimpinan tidak sepadan.

Ada rasa jenuh bersemayam di hati, seakan ingin lekas pergi dari aktivitas kerja ini. Akan tetapi, saya tetap berusaha bertahan demi masa depan.

Hampir sebelas bulan bekerja, gaji yang saya terima tiap sabtu Rp 11.000 terhitung 7 hari kerja. Bila satu bulan, saya mengantongi uang Rp 44.000 cukup bagi seorang gadis bila hanya untuk kepentingan sendiri.

Tetapi tidak dengan saya kala itu, dengan bekerja berharap bisa meringankan beban orang tua. Pada suatu hari, saya pulang. Kepulangan untuk melepas rindu juga memberi sedikit uang kepada Ibu hasil jerih payah sebulan.

Saat malam tiba, kami terbiasa menggelar tikar di halaman sekadar menikmati indahnya malam bertabur bintang. Pada saat itu saya curhat kepada Bapak(Almarhum) Bahwa saya sudah tidak betah, dan ingin keluar dari pekerjaan. 

"Nduk, sing sabar, anggonmu nglakoni. Anggep wae lagi sekolah ora bayar. Sebab, Bapak ora isoh nyekolahke sing luwih duwur. Mugo-mugo ing mbesuk-e uripmu bakal mulyo."


"Iyo, Nrimo ing pandum, Nduk."

Ilustrasi gambar https://m.facebook.com/kominfodiy/posts/belajar-falsafah-jawa-nrimo-ing-pandumnrimo-ing-pandum-memiliki-arti-menerima-se/159795212370
Ilustrasi gambar https://m.facebook.com/kominfodiy/posts/belajar-falsafah-jawa-nrimo-ing-pandumnrimo-ing-pandum-memiliki-arti-menerima-se/159795212370

 

Terdengar suara Ibu saat memasak  pun mengimbangi. Lalu, beliau menjelaskan makna dari kata di atas yang mempunyai arti " menerima segala pemberian atau keadaan" dalam kajian yang luas berarti ikhlas atas apa yang kita terima dalam menjalani kehidupan.

Begitulah Bapak dan Ibu memberi petuah, Contoh  Peribahasa yang sarat makna. Beliau menyuruh saya untuk bersabar, menerima apa adanya dalam menjalani hidup, juga menganggap masa bekerja itu ibarat sedang menimba ilmu, tetapi gratis.

Iya, itulah penilaian orang tua yang lebih kenyang makan asam garam kehidupan. Mereka jauh lebih memahami semua itu sangat berarti. Karena, selain mendapatkan ilmu, uang pun masuk kantongan. Sesuai pemahamannya.

Bapak juga selalu berdoa suatu saat nanti hidup saya akan mendapat kemuliaan. Kemulian di sini berupa harta, atau pun kedudukan.

***

Saat ada kesempatan, saya kembali bertanya kepada Ibu tentang sebuah perjalanan kehidupan yang seakan melelahkan.

 

 "Nyebar godong koro, sabar sak wetoro."

Senda gurau Ibu saat menghidangkan camilan singkong goreng. Kami langsung menyerbu hidangan tersebut. Rasa bahagia menjalari hati dalam kebersamaan malam itu.

Lagi-lagi petuah lewat peribahasa, mencecar kepala. Sambil makan saya berusaha mengingat ungkapan tersebut. Memang, sering mendengar Contoh Peribahasa  lewat teman-teman di toko.

Maklumlah, kebanyakan teman saya kala itu para orang tua, jadi sedikit banyak bisa menyesap ilmu kejawen dari para sesepuh.

Sabar sak wetoro memiliki arti sabar sejenak, juga melatih kesabaran dalam segala keadaan untuk kurun waktu tertentu.

Nasehat Bapak dan Ibu kala itu, saya "iya-kan" saja. Meski sejujurnya, batin separuh menerima.

Apalagi saat melihat kondisi kehidupan kami, sebagai buruh tani. Mereka menaruh harapan pada anak sulungnya kelak mampu memayungi. Jiwa pun terasa tergugah untuk melanjutkan perjuangan demi mewujudkan segala impian.

Suatu pagi Bapak mengantar saya berangkat kerja, jarak dari rumah hingga tempat kendaraan umum mangkal berjarak sekitar 7 km.

Tanpa keluh kesah Bapak mengayuh sepeda, berburu waktu supaya saya tidak ketinggalan jam pertama bus berangkat. Dulu, di jam-jam tertentulah armada lewat mengarah ke beberapa pinggiran kota.

Berbeda dengan keadaan sekarang, hampir tiap rumah memiliki kendaraan, mini bus pun telah berakhir masanya.

"Alon-alon asal Kelakon, Nduk," tutur Bapak kala melihat Bus Putra Jaya merangkak pelan.


Peribahasa atau pepatah tersebut mengartikan bahwa meski pelan-pelan asal terlaksana  Alon-alon waton kelakon dalam kehidupan mengandung makna sabar. Iya, santai saja, yang penting sampai pada tujuan dengan selamat dan terkabul segala impian.

Pada akhirnya saya pun bertekad kuat melawan segala rasa jenuh, bekerja keras sesuai harapannya. Taklupa berdoa, semoga kelak meraih segala keinginan. Bekerja lebih mapan, dengan upah sepadan, supaya bisa membahagiakan orang tua cukup sederhana, bukan?

Hari-hari terlewati, bahkan telah berganti tahun kedua. Alhamdulillah, bayaran yang diharapan bertambah. Iya, meski masih jauh dari harapan. Setidaknya membuat hati senang nan bahagia.

Pekan keempat saya pun pulang, membawa gaji cukup lumayan. Saking senangnya, membeli oleh-oleh untuk ketiga adik beraneka macam.

Namun, sesampai di rumah kala malam bertabur bintang, bukan pujian yang saya dapatkan, melainkan sebuah petuah yang  mendalam.

"Nduk, urip kuwi ora kanggo mangan, nanging mangan kanggo urip."

Untuk kalimat itu, saya benar-benar belum paham. Kata-katanya hampir sama. Lama saya mengingat-ingat, sepertinya belum pernah mendengar tetua di toko mengatakan hal serupa.

Saat ada kesempatan, saya pun berbisik kepada Ibu, menanyakan arti kata tersebut.

"Nduk, hidup itu tidak hanya untuk makan. Tetapi makan untuk hidup."

Lalu, Ibu menjelaskan. Bahwasanya kita makan untuk bisa bertahan hidup atau demi menyambung hidup. Kalimat ini memiliki arti cukup luas. Bisa penghayatan tentang tujuan hidup di dunia ini. Seandainya diungkap akan membutuhkan waktu sangat panjang.

Seandainya saja, hidup kita hanya untuk makan,  maka jerih payah habis dengan sia-sia. Sedangkan kebutuhan hidup masih banyak kan?

Peribahasa tersebut mencerminkan untuk bersifat tidak berfoya-foya atau menghamburkan uang selagi ada. Tetapi untuk berhemat, mendahulukan  kepentingan yang mendesak.

Saya pun berpijak pada ketiga Contoh Peribahasa yang mengandung makna mendalam, kemudian saya jadikan landasan dalam kehidupan untuk meraih kesuksesan.

Kesimpulannya, setiap orang tua selalu memberikan ilmu kehidupan, bimbingan yang terbaik buat putra-putri tercinta, bisa secara langsung pun lewat kiasan.

Sekian dari saya, semoga dalam berbagi goresan ini memberikan manfaat kepada para pembaca Kompasiana yang berhati mulia. Aamiin.

Referensi:

***

Artikel sebelumnya:

"Kerja di Toko Besi Tidak Memerlukan Surat Ijin Cuti

Baca juga: "Tidak Buru-buru Resign, Mampu Menghantar ke Gerbang Kesuksesan" 

Baca Juga: Ketika Satu Nama Mengubah Hidup, Kata "Resign" Jadi Pilihan


#ArtikelYuliyanti

#Tulisan ke-118

#Klaten, 12 Juni 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun