Masa kecil masa yang paling menarik untuk dikenang. Masa-masa indah saat bermanja dengan orang tua, menangis, tertawa, marah pun kecewa pada masanya. Â Terlahir dari keluarga boleh dibilang serba pas-pasan. Pas butuh pas nggak ada hehe. Saya sulung dari empat saudara sekandung hidup pada waktu itu. Kenapa sekandung hidup?
 Karena ketiga adik saya telah berpulang ke Rahmatullah sejak kecil karena sakit. Sebagai anak pertama, saya merasa kasih sayang orangtua terbagi dengan adik-adik. Seakan telah mengerti kata mengalah, dalam hal kasih sayang, makan, ataupun pendidikan. Itu menurut kaca mata saya.
Sebenarnya orangtua tidak membeda-bedakan perihal kasih sayang. Semua mendapatkan kasih sayang seimbang. Apalagi soal makan, semua sesuai porsi kemampuan orangtua. Â Saya masih ingat kala mau makan kami diambilkan empat piring plastik bergambar si-unyil dengan porsi nasi, lauk yang sama.
 Iya, seperti ditimbang tidak berat sebelah apalagi pilih kasih. Semua wajar-wajar saja, mengingat Ayah seorang petani, sedangkan Ibu sebagai Ibu rumah tangga sekaligus buruh batik tulis.
Pada waktu itu nenek berpenghasilan takseberapa dari jualan dipasar. Untuk membantu kerepotan keluarga.
Saya masih ingat pada masa itu, ayah dan  nenek seolah lebih sayang pada adik lelaki dibanding denganku.Â
Terlihat jelas manakala adik sakit panas, nenek sibuk membeli pisang, telur asin dan lain-lain. Padahal Ayah sudah membelikan kesukaannya. Katanya, untuk adikmu  supaya selera makan meningkat, dengan begitu akan cepat sembuh. Sebagai seorang anak saya merasa mereka pilih kasih, karena memberi hal serupa.
Saat adik sembuh saya bertengkar dengannya, Â dan melontarkan kata kamu kesayangan Ayah dan Nenek. Setelah adik menangis, baru orangtua melerai, menasihati saya. Kami pun berdamai.
Pada waktu itu tiba giliran saya sakit panas, nenek tak membelikan seperti saat adik sakit. Â Pada waktu itu saya bilang padanya;
Â
"Nenek pilih kasih giliran aku sakit, tidak dimanja seperti adik kala sakit."
Nenek pun tertawa dengar celoteh saya kala itu. Usut punya usut, kalau saya sakit semua jenis makanan  yang  disukai  tidak  pernah mau menyentuh apalagi memakannya.
Nyatanya benar, waktu itu saya pun dibelikan beberapa buah segar, seperti pisang, jeruk, juga telur asin. Tidak satupun yang saya makan. Itu hingga saat dewasa, saat sakit tidak mau makan sama sekali. Terkadang orang tua merayu supaya saya mau makan, tetapi hasilnya nol. Tidak mau makan sama sekali.
***
Saat kami telah tumbuh besar, dan mengenyam pendidikan. Saya hanya menamatkan Sekolah Dasar, adik kedua bernama Muhammad Sholeh tidak mau sekolah karena sesuatu hal. Sedangkan adik ke tiga bernama (Tri) dan keempat bernama(Wahyuni) mereka semua lulus Sekolah Menengah Pertama(SMP).
Pada awalnya saya merasa iri, seolah-olah Bapak benar-benar pilih kasih, dulu saat lulus SD saya takdiizinkan sekolah lagi. Lain halnya dengan adik ketiga dan keempat, itu menurut pandangan saya. Bertengkar sesaat, marah, lalu berdamai itu hal yang sangat wajar saat masa kanak-kanak.
***
Setelah kami dewasa, baru menyadari kenapa saat saya minta sekolah takterpenuhi. Karena memang keadaan tidak memungkinkan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari-hari pun hasil dari ladang seadanya. Akan tetapi berbeda kala tahun berikutnya giliran adik ketiga dan keempat, ekonomi kami lebih membaik.
 Bapak merantau ke luar Jawa. Hasilnya cukup lumayan, sehingga bisa untuk menyekolahkan kedua adik hingga tamat SMP. Dari situlah saya jadi mengerti tentang takdir kehidupan.
 Sibling Rivalry, bagian dari kisah masa kecil yang menarik. Semua menjadi pelengkap puzle kehidupan. Tidak ada  rasa pilih-kasih. Yang ada hanya takdir kehidupan. Kita menjalani hidup sesuai takdir masing-masing.
Tulisan ke-72. Klaten,10 April 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI