[caption caption="Ilustrasi: alquranclasses.com"][/caption]Memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2016 ini, izinkan aku menyampaikan tulisan ini sebagai rasa terima kasih yang sangat dalam kepada Ibu, yang saat ini, saat tulisan ini diunggah, sedang bekerja. Semangat ya Ibu, anakmu jauh di sini selalu mendoakanmu.
Banyak perempuan-perempuan hebat, yang berkarier di bidang politik seperti Hillary Clinton, seperti Kartini yang memperjuangkan kesetaraan derajat kaum hawa, Cut Nyak Dien pahlawan perempuan yang berani memimpin perlawanan rakyat Aceh kepada penjajah, menjadi penyanyi muda berbakat semacam Gita Gutawa, dan jutaan mawar merah di angkasa sana.
Aku sangat menghormati dan memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada perempuan yang sukses di bidangnya, dalam pekerjaannya, memberi warna pada dunia, serta semangatnya yang tak kalah dengan kecepatan mobil Italia. Semoga orang lain juga mempunyai pikiran yang sama denganku.
Dengan haru aku teringat ibu di sana. Perempuan yang membuatku tetap bisa menimba ilmu hingga perguruan tinggi ini. Sepenggal kisah yang terangkum dalam tulisan ini semoga bisa menginspirasi Ibu, Ayah, dan yang merasa punya orang tua.
Alkisah
Beberapa tahun lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP, muncul sebuah kebijakan dari pemerintah yang cukup menyiksa keluargaku. Saat itu ada kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji. Ayahku adalah lulusan SLTP yang sebelumnya bekerja sebagai sopir truk tangki minyak tanah. Beliau sudah bekerja selama sekitar 15 tahun, tentu pekerjaan ini dipilih karena tidak ada lapangan kerja lain yang mau menerima ijazah SLTP-nya.
Bekerja sebagai sopir cukup membuat ayah bisa memenuhi nafkah keluarga dengan dua anaknya. Hasil jerih payahnya mengangkut minyak tanah setiap hari dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ke Pasuruan bahkan mampu untuk membangun rumah, membeli tanah tetangga, dan membeli sepeda motor, meskipun melalui kredit.
Setelah konversi minyak tanah ke gas elpiji itu berjalan, perusahaan tempat ayahku bekerja tutup. Semua karyawannya dikeluarkan, termasuk ayah. Sejak saat itu ayah menganggur, tak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja dengan ijazah rendah. Setiap hari beliau membantu ibu memasak, menggantikan pekerjaan ibu seperti menyapu dan mencuci pakaian sebagai bentuk tanggung jawab. Tak jarang juga ayah meminta maaf kepada ibu dan anak-anaknya akibat keadaan tersebut.
Selama tiga bulan sejak ayah tak lagi bekerja aku tidak pernah meminta uang saku untuk sekolah. Aku hanya diberi uang untuk transpor sebesar 2000 rupiah. Aku mengerti kondisi sulit yang terjadi. Sampai ketika ada penarikan uang wajib untuk membeli buku latihan (LKS). Aku jelaskan kepada ibu mengenai penarikan uang tersebut dan dengan menangis aku berkata jika masih belum ada uang lebih baik aku berhenti sekolah sementara agar tidak membebani orang tua. Dengan menangis juga ibu seketika memelukku.
Keesokan harinya tiba-tiba ada uang di atas lipatan seragam yang akan aku pakai sekolah, di sampingnya ada kertas bertuliskan “untuk bayar LKS”. Aku tidak tahu siapa yang memberi uang tersebut, aku mencari ibu untuk pamit berangkat sekolah namun tidak ada di sekitar rumah, mungkin dia sedang belanja ke pasar dengan ayah. Ternyata, pagi itu ibu sedang ke rumah temannya untuk menanyakan lowongan kerja dan uang tersebut dipinjamnya dari tetangga sebelah rumah.
Ibuku Bekerja