Mohon tunggu...
Sam
Sam Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Padi tumbuh tak berisik. -Tan Malaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Film Senyap: Kontroversi di Negeri Sendiri, Terkenal di Negeri Orang

1 Maret 2016   23:20 Diperbarui: 1 Maret 2016   23:38 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumebr: kapanlagi.com"][/caption]Piala Oscar atau Academy Awards adalah penghargaan film tertua di dunia yang diselenggarakan sejak tahun 1928 di Amerika Serikat. Ajang ini sangat bergengsi dalam industri perfilman di dunia. Bukan hanya film terbaik yang mendapat penghargaan, namun terdapat berbagai macam kategori seperti aktor terbaik, kostum terbaik, tata rias, audio video, dan lain-lain.

Perhelatan Academy Awards ke-88 tahun 2016 dilaksanakan pada Minggu (28/2) kemarin di Dolby Theatre, Los Angeles. Leonardo DiCaprio keluar sebagai aktor utama terbaik, sedangkan Brie Larson sebagai aktris utama terbaik. Sempat ada protes dari pengamat film mengenai penghargaan yang diberikan, karena semua pemenang merupakan berkulit putih. Entah itu disengaja atau tidak, namun pemenang Piala Oscar tahun ini memang pantas disebut sebagai yang terbaik.

Terlepas dari semua itu, ada yang menarik untuk kita sebagai warga negara Indonesia, di mana film berbahasa Indonesia yang berjudul Senyap: The Look of Silence masuk dalam salah satu nominasi film kategori Best Documentaru Feature. Film ini bersaing dengan film-film luar negeri seperti Amy, Cartel Land, What Happened, Miss Simone?, dan Winter on Fire: Ukraine's Fight for Freedom. Namun sayang film Senyap tidak keluar sebagai pemenang dalam Academy Awards tahun ini.

Film Senyap merupakan film Indonesia pertama yang masuk nominasi Oscar. Dirilis pada bulan Agustus 2014 di Venice Internasional Film Festival, film kontroversial ini kemudian banyak memperoleh penghargaan luar negeri. Tercatat lebih dari 20 penghargaan berhasil dimenangkan oleh Senyap.

Film Senyap menjadi kontroversi di tanah air karena mengangkat tema pembantaian massal tahun 1965. Film karya Joshua Oppeheimer ini merupakan film dokumenter kedua setelah film jagal yang dibuat dengan tema yang sama. Film ini diproduksi oleh co-produser dari lima negara yaitu Indonesia, AS, Inggris, Finlandia, dan Denmark. Namun demi alasan keamanan, nama co-produser dari Indonesia tidak disebutkan.

Peluncuran film Senyap di Indonesia dilakukan oleh Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta pada 10 November 2014 di Jakarta . Kemudian pada 10 Desember 2014 film Senyap diputar secara serentak di berbagai kota di Indonesia dalam rangka memperingati hari HAM sedunia. Film Senyap dilarang diputar di bioskop Indonesia karena ditolak oleh Lembaga Sensor Film, namun film ini masih beredar terbatas.

Film ini dilarang beredar luas karena dalam ceritanya mengandung unsur propaganda yang ditakutkan akan membangkitkan kembali ideologi komunis di Indonesia. Terlebih jika sasaran dari film ini adalah mahasiswa yang masih belum banyak tahu tentang paham ideologi sehingga akan terprovokasi dengan alur cerita yang disajikan dalam film.

Film ini memang dikemas dalam alur cerita yang menarik, di saat ada pembahasan tentang cerita pembantaian, di situ diselingi humor ringan dari tokoh dalam film sehingga penonton akan terbawa suasana.

Pengalaman saya pribadi, setelah menonton film ini, ada sedikit terlintas dalam pikiran saya bahwa PKI itu benar, dan yang salah adalah para pembantai dari kelompok masyarakat yang didukung TNI atau pemerintah. Terlepas dari semua itu saya tetap sadar bahwa dalam film ini hanya mengambil satu sudut pandang yaitu pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah, tanpa dijelaskan sebelumnya bahwa yang terlebih dahulu melakukan pembantaian adalah PKI.

Sampai saat ini tidak ada pendapat yang benar 100% mengenai peristiwa 1965, termasuk pendapat saya ini. Tidak bisa sepenuhnya menyalahkan PKI atau pemerintah karena itu merupakan musibah yang entah siapa dalang dibalik semua itu.

Saya pernah bertanya kepada kakek saya yang beberapa tahun lalu masih hidup mengenai peristiwa ini. Dia menjelaskan bahwa sebelum tahun 1965, para anggota PKI mencari pemuda atau orang tua laki-laki yang pro pemerintah di desa-desa untuk dibunuh, termasuk kakek saya yang saat itu berusia sekitar 20 tahun. Entah cerita itu benar atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.

Yang ingin saya garis bawahi adalah jangan mudah terprovokasi dengan pendapat mengenai isu pembantaian 1965. Hal tersebut cukup menjadi pelajaran bagi Bangsa Indonesia agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Sulit untuk menyimpulkan siapa yang salah karena kita tidak hidup pada masa itu. Kita hanya mendengarkan cerita atau membaca tulisan yang belum terjamin kebenarannya.

Saya bukan pro pemerintah, juga bukan pro komunis. Saya menganggap peristiwa ini sebagai musibah. Jika ada yang bilang: Enak saja kamu anggap musibah, kamu belum tahu rasanya kehilangan keluarga yang menjadi korban. Saya jawab: Saudara dari kakek saya juga ada yang meninggal karena peristiwa itu, saya sebagai anak cucu senantiasa mendoakan agar jiwanya tenang di surga sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun