Masalah utama sebenarnya terletak pada ketidakadilan dalam sensor film yang dilakukan badan berwenang. Banyak film beradegan ciuman atau berbau asusila yang lulus dari sensor. Hal inilah yang membuat masyarakat berpendapat sensor yang dilakukan terlalu berlebihan, karena ada hal yang lebih tidak sesuai dan seharusnya disensor tapi malah dibiarkan lulus sensor.
Solusi dari semua ini terletak pada pemerintah dan masyarakat. Pemerintah melalui KPI atau LSF harus secara adil melakukan sensor terhadap film atau tayangan yang tidak sesuai. Ketidaksesuaian tayangan dapat dilihat dalam pembagian kategori film menurut UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang LSF, Pasal 28 Ayat 1, yaitu Kategori Semua Umur (SU), 13+, 17+, dan 21+. Setelah itu masyarakat khususnya dalam lingkup keluarga harus bisa mengontrol anggotanya dalam menonton film sesuai kategori masing-masing.
Anggap saja semua kritik yang dilontarkan oleh masyarakat adalah suatu pijakan untuk membuat badan sensor film Indonesia bekerja dengan lebih baik dan berhati-hati. Sesungguhnya LSF atau AJI berusaha untuk menjembatani antara insan film dan hasil karyanya dengan pemirsa, sehingga layak ditonton. Sungguh hal ini tidak bermaksud menyusahkan atau membelenggu kreativitas.
Semoga industri perfilman di Indonesia ke depannya menjadi lebih baik lagi dan bisa mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional serta menjadi salah satu sektor yang memajukan perekonomian negara.
Â
Bogor, 29 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H