Mohon tunggu...
Sam
Sam Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Padi tumbuh tak berisik. -Tan Malaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sensor Film di Indonesia: Wajarkah?

29 Februari 2016   22:57 Diperbarui: 1 Maret 2016   11:31 4352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: techinasia.com"][/caption]Lembaga Sensor Film telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sedikit cerita, pada tahun 1900 orang Belanda yang tinggal di Indonesia merasa rindu dengan kehidupan di negeri asalnya. Untuk itu mereka mulai mengadakan pemutaran film di sebuah tempat yang disebut bioscoop yang ada di kota-kota besar di Indonesia. Lambat laun film tidak hanya ditonton oleh orang Belanda, melainkan juga masyarakat pribumi sebagai hiburan.

Sekitar tahun 1920-an, negara-negara Eropa tengah ramai dilanda krisis revolusi, yaitu perlawanan dari masyarakat yang tertindas oleh pemerintah yang akhirnya memberontak dan menggulingkan pemerintah. Hal tersebutlah yang membuat industri film juga banyak mengangkat tema revolusi dalam film yang dibuatnya. Film bertema revolusi ini kemudian disebar ke seluruh dunia untuk ditayangkan dengan maksud sebagai hiburan.

Karena takut film bertema revolusi atau pemberontakan masuk ke Indonesia yang nantinya bisa membangkitkan semangat juang rakyat untuk melawan Pemerintah, akhirnya Belanda membentuk sebuah badan yang bertanggung jawab atas sensor film yang dapat merugikan pemerintah, bernama Komisi Sensor Film. Keberadaan Komisi Sensor Film diatur dalam Staadsbad van Nederlands Nomor 276 tentang Pengawasan dan Pertunjukan.

Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1946 pemerintah menempatkan Badan Sensor Film dalam lingkungan Departemen Pertahanan Negara. Hal tersebut dimaksudkan agar film dapat mengobarkan semangat juang rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Kemudian pada 1948, Badan Sensor Film ditempatkan dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nomenklatur Panitia Pengawas Film.

Awal mula kontroversi film di Indonesia dimulai saat produksi film Antara Bumi dan Langit yang disutradarai oleh Dr. Huyung dari Jepang pada tahun 1950. Gelombang protes berdatangan dari berbagai pihak setelah dalam film tersebut terdapat adegan ciuman antara aktor S. Bono dengan Grace. Saat itu masih belum ada aturan tertulis mengenai produksi film tanah air. Kemudian film tersebut menjadi koreksi bagi produksi film-film Indonesia selanjutnya.

Akhirnya terciptalah ide yang pada tahun 1981 dapat terwujud dengan disepakatinya Kode Etik Produksi Film Indonesia dalam seminar yang diadakan di Jakarta. Tujuan kode etik ini adalah meminimalisasi sensor yang dilakukan oleh Badan Sensor Film dengan harapan insan produsen film bisa menyaring sendiri adegan-adegan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

UU Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman menjadi dasar hukum peraturan pembuatan film Indonesia. UU ini juga merupakan payung hukum bagi Lembaga Sensor Film. Dalam Pasal 33 UU Perfilman secara tegas disebut setiap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan wajib disensor.

Yang dimaksud sensor film menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film adalah penelitian dan penilaian terhadap film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film atau reklame film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum baik secara utuh maupun setelah peniadaan gambar atau suara tertentu. LSF melakukan penyensoran terhadap semua film, baik film bioskop maupun tayangan televisi.

Tidak semua tayangan televisi wajib disensor. Siaran langsung dan berita menjadi tanggung jawab Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jadi terdapat perbedaan tugas pokok dan fungsi antara LSF dan KPI yang harus diketahui oleh masyarakat agar tidak salah kaprah memberi kritik.

Akhir-akhir ini banyak kritik masyarakat kepada entah KPI atau LSF yang intinya menyatakan bahwa sensor yang dilakukan terlalu berlebihan. Memang benar adanya terlalu berlebihan, bahkan susu sapi yang sedang diperas dalam sebuah liputan menjadi disensor.  

Mengenai kartun Spongebob, menurut saya tidak ada sensor berlebihan yang dilakukan karena memang kartun tersebut ada dalam kategori Semua Umur (SU) di mana anak-anak diperbolehkan menonton. Tokoh Sandy yang memakai pakaian mini, walau hanya sekadar hewan tupai, tetap tidak sesuai untuk dipertontonkan kepada anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun