"When I see old pictures and everytime I look at them. They"r alive and they are in the present moment. Then for me, the subject of the picture is always more important than the picture."
Yogyakarta, Mei-Juni 1975
Foto bagi saya adalah tidak sekadar hasil "jepret-jepret" dari kamera ke objek yang dituju saja. Namun yang terpenting dari foto itu adalah sisi kejujuran realitanya baik momen senang atau sedih. Kemudian semua hal itu akan menjadi momen yang sangat bermakna bagi sejarah dari foto tersebut. Seakan-akan foto itu bercerita sendiri kepada siapa pun yang melihatnya. Tujuannya sangat sederhana, supaya apa yang kita rasakan saat memotret orang lain juga bisa merasakannya. Orang juga bisa membayangkan bertapa indahnya alam atau cerita tersebut dengan sebuah karya yang yang telah diabadikan.
Awal Januari 2018, saya membersihkan lemari tua kepunyaan mendiang ibu. Saat itu, ia masih berdiri kokoh di salah satu sudut ruangan rumah. Lemari yang usianya mungkin lebih dari usia saya sekarang. Pada saat saya mengambil baju-baju ibu untuk disumbangkan, tiba-tiba saya menemukan foto lawas hitam putih milik mendiang. Foto-foto tersebut saya amati dan menciumnya karena tiba-tiba saya kangen ibu saya karena saya sudah tidak bisa melihat beliau lagi. Beliau sudah meninggal 4,5 tahun lalu. Foto-foto lawas itu mempunyai berbagai macam cerita. Saya tertarik dengan foto plesiran beliau.
Setelah saya lihat dengan teliti tiap foto, terlihat tanggal dan tahun dan lokasi. Menurut infomasi dari foto-foto lawas itu, beliau pernah piknik dua kali di bulan Mei tahun 1975 dan Juni tahun 1976. Beliau mengunjungi tiga tempat, yaitu Keraton Yogyakarta, Pesanggrahan Taman Sari, dan Pantai Baron. Sepintas saya teringat cerita tentang ibu saya saat muda. Beliau menceritakan kepada saya di saat hari terakhirnya tepatnya 9 hari sebelum kematiannya. Ternyata beliau mempunyai hobi plesiran dengan teman-temannya.
8 Mei 1975
Suasana Yogyakarta pada tahun 1975 masih lumayan lengang dan tidak macet seperti sekarang. Masih banyak masyarakat Yogyakarta yang menggunakan transportasi sepeda dan berjalan kaki di bawah pohon rindang dan syahdu. Jika melihat foto lawas ini dipastikan ibu saya dan teman-temanya mengunjungi Keraton Yogyakarta dan Pesanggrahan Tamansari dengan berjalan kaki saja. Hal ini dikarenakan dulu rumah ibu dulu berlokasi di Kampung Danunegaran dekat Pojok Beteng Wetan, kurang lebih 2 Km saja dari rumah menuju Keraton Yogyakarta.
Bukankah sampai saat ini juga banyak perempuan dengan gaya belahan tengah. Namun yang menarik dari foto ini adalah gaya berpakaian teman ibu saya masih hits dengan celana cutbray-nya. Saya yakin, fashion yang ada di foto ini sudah paling popular pada masanya.
Dahulu ada yang jual gudeg yang sangat kondang hingga dua generasi, lalu di daerah Gondomanan dahulu kala hanya ada dua atau tiga yang menjual makanan dan jajanan pasar. Jadi bisa disimpulkan bahwa jika dahulu orang-orang yang berwisata biasanya membawa bekal dari rumah.
Berikutnya ada foto yang menjadi favorit saya yaitu foto yang di Pesanggrahan Taman Sari tepatnya di Sumur Gumuling, terlihat lokasi itu belum di renovasi karena terlihat lumut di mana-mana dan kurang terawat.
Beberapa foto yang saya temukan adalah berada di Pantai Baron. Saya bisa membayangkan dari melihat dari foto lawas ini bahwa Pantai Baron masih sangat asri dan belum banyak orang berkunjung. Terlihat juga background foto ibu saya dan dua temannya di samping mobil namun saya tidak tahu merk apa. Uniknya dari foto -foto lawas ini semuanya terlihat jarang senyum atau berpose.Â
Satu, dua foto ada yang tersenyum namun posenya sangat kaku sekali tidak seperti sekarang mungkin bisa dibilang overdosis pose sampai bibir manyun-manyun dan selfie hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H