Mohon tunggu...
yulia
yulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

berkuliah

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Lahir dan Berkembangnya Musik Indie dari 1970 - Sekarang: Transformasi Arti hingga Persepsi

29 September 2021   18:59 Diperbarui: 2 Februari 2022   09:46 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagu "Akad" karya Payung Teduh yang sempat booming belakangan ini kiranya menjadi sebuah gambaran betapa musik indie di Indonesia sedang mengalami perkembangan yang pesat. Geliat itu dapat kita saksikan sekira empat hingga lima tahun belakangan ini. 

Pesatnya laju perkembangan musik indie di Indonesia diiringi dengan banyaknya musisi-musisi dan band-band indie yang mulai unjuk gigi dengan karya-karyanya. 

Sebut saja Frtwnty, Danilla Riyadi, Efek Rumah Kaca, Payung Teduh, dan Dialog Dini Hari, mereka adalah band-band dan musisi yang sedang digandrungi kalangan muda Indonesia dewasa ini. 

Musikalitas mereka memang patut diacungi jempol. Tak heran jika karya-karya mereka banyak berlalu-lalang menghiasi blantika musik Indonesia.

Melihat fenomena booming-nya musik indie di Indonesia dewasa ini, agaknya kita perlu melihat kembali ke belakang bagaimana musik indie lahir dan berkembang sangat pesat hingga sekarang. 

Perlu kita ketahui terlebih dulu bahwa cikal bakal lahirnya atmosfer musik indie di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran band legendaris asal Tuban, "Koes Plus". Pada era 70-an, atmosfer musik Indonesia dipenuhi dengan lagu-lagu Koes Plus. Radio, bahkan orang pesta, semua memutar lagu-lagu hits Koes Plus (Santosa, 2011).

Musikalitas Koes Plus sendiri kala itu tidak lepas dari pengaruh The Beatles yang sedang menggelora di Indonesia. Lagu-lagu Koes Plus terinspirasi dari lagu-lagu karya The Beatles yang mana banyak mengangkat isu-isu realitas sosial. 

Musik, bagi Koes Plus, merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, mereka menciptakan musik-musik sesuai dengan kemauan hati nurani mereka, termasuk pandangan mereka dalam realitas sosial hingga pandangan politik.

Anggapan Koes Plus bahwa musik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi rupanya ditentang oleh Soekarno yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden RI. Musik-musik Koes Plus yang disebut sebagai musik ngik ngok oleh Soekarno ini dituduh identik dengan budaya kapitalisme Barat. 

Menurut Soekarno, musik-musik Koes Plus terlalu kebarat-baratan dan tidak terlalu penting bagi masyarakat kelas bawah (Muhammad, 2018).

Pada 29 Juni 1965, Koes Plus dipenjarakan. Mereka dianggap tidak mengindahkan peringatan yang diberikan pihak kepolisian tentang pelarangan musik ngik ngok. Pihak kepolisian juga melarang lagu-lagu Koes Plus Bersaudara beredar di masyarakat. 

Namun, para penggemar masih banyak yang mendengar lagu-lagu top mereka melalui radio Singapura (Santosa, 2011). Sebuah ironi, mereka ditahan di negaranya sendiri bahkan ketika karya mereka sedang naik daun di negeri seberang.

Tidak hanya Koes Plus, era 1970-an, atmosfer musik Indonesia juga dihiasi oleh band-band populer seperti God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy, Giant Step, Super Kid, Terncem dan AKA/SAS. 

Mereka merupakan pionir rocker Indonesia kala itu. Lagu-lagu yang mereka mainkan bukanlah karya mereka sendiri, melainkan mereka memainkan lagu-lagu band luar, seperti Deep Purple, Black Sabbath, Led Zeppelin, dan Rolling Stones (Sofyan, 2018). Meskipun demikian, mereka tetap mampu mendongkrak popularitas dan mampu mencetak namanya sebagai sejarah di pentas nasional.

Menginjak awal tahun 1990-an, musik yang anti-mainstream dan berlandaskan kebebasan berekspresi ini lebih dikenal sebagai musik underground. Budaya underground saat itu kian meluas. Kota-kota besar pun menjadi tempat berkembangnya komunitas musik underground pada masa itu. 

Selain itu, sudah banyak musik yang berani berekspresi dengan menempatkan isu-isu politik dalam lirik-liriknya. 

Ada sekian banyak album, termasuk album-album kompilasi yang dirilis bersama oleh grup musik di zaman itu. Panggung-panggung kecil pun sering digelar di berbagai kafe, pun demikian halnya dengan semakin maraknya industri anak muda, seperti clothing dan distro.

Pada pertengahan tahun 90-an, musik indie pertama kali dicetuskan oleh PAS Band. Band asal Bandung ini memulai meniti karier mereka dari panggung-panggung musik underground. 

Mereka merilis mini album pertama yang berjudul "Four Through The Sap" dengan bergerak secara indie, mulai dari distribusi dan promosinya mereka kerjakan secara mandiri. 

Dengan kesuksesan tersebut, PAS Band mulai dilirik oleh sebuah label rekaman Aquarius Record, dan akhirnya mereka berhasil direkrut oleh label rekaman tersebut.

Langkah PAS Band ini diikuti dengan direkrutnya musisi-musisi dan band indie oleh major label seperti Suckerhead dengan Aquarius Record, Jun Fan Gung Goo dan Superman Is Dead dengan Sony Record, dan The Upstairs dengan Warner Music Record (Muhammad, 2018).

Kesuksesan yang dicapai oleh para pegiat musik indie terdahulu menjadi inspirasi para musisi dan band indie dewasa ini. Pada awal tahun 2000-an, musik-musik indie semakin berkembang pesat. 

Hal ini didukung dengan semakin banyaknya label rekaman independent yang berdiri. Munculnya The S.I.G.I.T, Mocca, The Adams, dan Endah N Rhesa menjadi sebuah angin segar bagi perkembangan musik indie di Indonesia. Bahkan, hingga sekarang, band dan musisi indie kian bermunculan dengan melahirkan karya-karya yang luar biasa.

Arti Indie yang Sering Disalahpahami

Ditinjau dari sisi historisnya, kiranya dapat diketahui bahwa musik indie tidak pernah mati. 

Dewasa ini, geliat musik indie kian tak terbendung. Popularitas musik indie juga tidak dapat diragukan lagi. Musik indie kian digandrungi anak muda dari kalangan bawah hingga atas. Sebuah pertanda baik tentunya bagi para pegiat musik indie, mengingat musik mereka kini semakin dikenal dan digemari di seluruh Nusantara. 

Meskipun musik indie popularitasnya terus mengangkasa, tetapi agaknya masih ada sebagian penggemar dan orang awam yang salah kaprah dalam memaknainya. Musik indie acapkali dianggap sebagai sebuah genre atau aliran musik. Anggapan ini tentu saja keliru. Indie bukan merupakan sebuah genre musik.

Menurut Wendi Putranto, Editor Majalah Rolling Stones Indonesia, definisi musik indie sebagai suatu aliran atau genre musik tidaklah pernah ada, karena sebuah musik disebut sebagai musik indie adalah hanya untuk membedakan antara musik mainstream dengan musik independent (Naldo, 2012). Indie sendiri berasal dari kata independent yang berarti merdeka atau berdiri sendiri. 

Musik indie pada dasarnya berprinsip D.I.Y, yaitu do it yourself. Musik indie tidak bergantung pada sebuah major label yang mengharuskan mereka mengikuti selera pasar. Musik indie adalah musik yang merdeka, bebas, dan tidak pakem. 

Mereka, para musisi indie, memiliki kebebasan untuk berekspresi melalui karya-karyanya tanpa harus dipusingkan dengan arus pasar. Musisi-musisi indie pada hakikatnya tidak mengejar popularitas. 

Mereka hanya berkarya sesuai dengan kemauan diri.

Transformasi Persepsi Musik Indie

Musik indie dalam sejarahnya memiliki pemaknaan yang begitu dalam. Musik indie bukan hanya sekadar musik tanpa label rekaman. Lebih dari itu, musik indie merupakan sebuah perwujudan atas kemerdekaan berekspresi. 

Jika dulu ada Koes Plus yang musiknya begitu menohok realita, kini ada Efek Rumah Kaca yang juga dengan berani mengusung pahit manis realitas sosial. Namun, seiring dengan perjalananya, musik indie kian mengalami perubahan persepsi di masyarakat, khususnya penggemar yang notabene kaula muda.

Indie lebih dari Kopi-Senja-Converse-Totebag

Kalimat di atas merupakan sepotong cuitan dari salah seorang musisi indie terkemuka di Indonesia, Fiersa Besari. 

Membaca sebuah utas "perihal indie" yang dicuitkannya 12 Februari 2019 lalu kiranya dapat kita ketahui bahwa sebagai musisi indie ia pun menyadari bahwa musik indie yang selama ini membesarkan namanya kini kian mengalami salah persepsi. Musik indie yang digaungkannya merupakan ekspresi dari kebebasan.

Musik indie dewasa ini lebih banyak diidentikkan dengan senja, kopi, dan idealisme yang tinggi. Indie bahkan menjadi kata-kata yang overused. Sudah salah kaprah dalam memaknai indie sebagai genre, kini kata indie mulai menjadi sebuah gaya hidup. Entah dari mana asalnya pemahaman ini.

Musik indie pada hakikatnya bukan hanya tentang senja dan kopi sebagaimana yang kerap menjadi guyonan orang-orang. Musik indie merupakan representasi dari kebebasan berekspresi. 

Perlu kita garis bawahi bahwa musik indie mempunyai sejarah yang panjang dalam perjalanannya hingga saat ini. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika musik indie hanya dimaknai sebagai trend musik anti-mainstream yang identik dengan senja dan kopi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun