Di sebelah masjid kami terdapat sebuah warung yang lumayan besar. Warung itu beratap terpal dan ditutupi kain yang melingkar dengan warna biru bersih.
Di kain tersebut terdapat tulisan dengan sablon warna merah. Warung Nasi Sate dan Gule Kambing "Sederhana", begitu bunyinya.
Seperti namanya, fontnya demikian sederhana. Namun dibalik kesederhanaan itu kehadiran warung ini selalu menjadi perbincangan kami setiap pulang mengaji.
Mengapa? Aromanya sedap sekali. Bau gulai selalu menguar memenuhi udara sore tatkala yang jualan membuka tutup panci besar berisi penuh gulai di bagian belakang warung.
Belum lagi jika pada saat yang bersamaan penjual juga sedang membakar sate. Wah, paduan bau keduanya membuat cacing cacing di perut serasa menari nari.
"Wenak paling yo..., " kata teman saya sambil menghirup baunya dalam- dalam.
"Iya lah... larang tapi," jawab teman yang lain.
Ya, menurut ukuran kami saat itu gulai kambing adalah makanan yang mahal, sehingga jarang-jarang kami bisa menikmatinya kecuali pas Hari Raya Iedul Adha.
Seingat saya ibuk pernah membeli gulai di warung ini satu kali. Harga satu rantang kira kira 2000 rupiah. Mahal menurut kami. Dan dengan harga tersebut gulai hanya cukup dibagi kami bertiga. Bapak dan Ibuk makan dengan lauk lainnya.
Sesudah satu kali makan gulai itu (meski dengan kuah yang sedikit), saya semakin yakin bahwa ini adalah makanan yang paling lezat, juga mahal. Bahkan saking mahalnya saya tidak lagi berangan-angan untuk makan gulai tersebut. Paling juga tidak dibelikan pikir saya.
Tapi siapa sangka pada suatu hari saya tiba-tiba diajak bapak makan di warung "Sederhana" tersebut.