Masa-masa yang demikian sulit. Di masa itu keluarga Kartinah mengalami kejayaan dan juga jatuh miskin karena usahanya bangkrut karena Soekatmo meninggal dan akhirnya memaksa mereka harus pindah rumah.
Padahal saat itu sudah ada lima anak yang harus dihidupi. Betapa dua orang perempuan berjuang menghidupi lima anak kecil dalam kondisi yang begitu minim.
Satu kalimat yang berisi semangat yang begitu mengharukan dari Salinem adalah ketika Salinem menggendong Ning, bayi kecil Kartinah tatkala pemakaman ayahnya.
"Salinem membelai dahi bayi kecil itu sekali lagi. Seperti kebun, tunas tunas yang tumbuh harus dijaga baik-baik. Apapun yang terjadi kebun harus tetap dipertahankan."
Kartinah akhirnya bekerja menjadi tukang masak di sebuah hotel dan Salinem merintis usaha menjual pecel di depan sebuah SD Negeri.Â
Berkat perjuangan, kasih sayang dan  kesetiaan Salinem akhirnya kelima anak kecil tadi berhasil jadi 'orang' , bahkan cucu-cucu Kartinah menyangka bahwa Salinem adalah nenek mereka sendiri.
Novel yang berlatar cerita Solo, Klaten, Sukoharjo, dan sekitarnya di masa penjajahan Belada, Jepang bahkan masa awal kemerdekaan Indonesia ini saya habiskan dalam waktu 3-4 hari. Agak lebih lama dari novel biasanya karena ada begian bagian yang saya baca berulang karena memang bahasanya menarik dan sarat pesan.
Lalu mengapa pecel Salinem memiliki rasa yang demikian enak berbeda dengan pecel lainnya? Ada rahasia apa di baliknya?
Bagaimana nasib cinta Salinem sendiri?
Sepertinya akan lebih mengasyikkan jika pembaca menikmati sendiri novel ini.