Jam menunjukkan sekitar pukul 12 siang. Ruang makan hotel sudah mulai ramai oleh para peserta pelatihan. Saya segera mengambil piring. Saya pilih nasi, sop, ayam goreng, tempe dan jus jeruk sebagai minumannya.
Saya mengambil tempat duduk di meja makan yang berisi empat orang. Tiga orang teman sudah duduk sambil menikmati hidangan. Teman yang mendadak kenal pas pelatihan. Sama sama guru dari SMP, SMA dan SMK di Kabupaten dan Kota Malang.
Sambil menikmati hidangan kami ngobrol ringan. Tentang apa saja. Yang terbanyak adalah tentang daerah sekitar hotel tempat kami mendapatkan pelatihan.
Lagu diperdengarkan di ruang makan dengan suara yang tidak terlalu keras. Geef Mij Maar Nasi Goreng" (Beri Aku Nasi Goreng). Sebuah lagu yang digubah oleh Louisa Johanna Theodora "Wieteke" van Dort atau Tante Lien pada tahun 1977.
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij..
Lagu ini bercerita tentang kerinduan Wieteke pada makanan Indonesia. Artinya kurang lebih adalah:Â
Beri saja aku nasi goreng dengan telur goreng … dengan cabai, kerupuk dan segelas bir sebagai pelengkap
Belum selesai. Suasana berikutnya dihangatkan oleh lagu Bunga Anggrek (Als de Orchideen Bloeien) gubahan Ismail Marzuki.
Vibesnya benar-benar terasa...Kuno tapi menyenangkan.
*****
Sejak tanggal 18 Agustus kemarin saya mendapatkan tugas untuk mengikuti sebuah pelatihan menulis. Pelatihan ini diikuti oleh guru guru SD, SMP, SMA dan SMK yang ditunjuk.
Pelatihan yang dilaksanakan sampai tanggal 20 Agustus ini diadakan di Hotel Pelangi Jl. Merdeka Selatan sekitar Alun alun Merdeka Malang.Â
Sangat menarik, karena hotel yang berjarak kira kira 10 menit perjalanan dengan sepeda motor dari rumah ini setiap hari saya lewati. Tapi belum pernah sekalipun saya menginap di sini.
Dulu sekali saya pernah masuk ke sini karena mendapat undangan untuk halal bihalal, tapi itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu.
Tentang Hotel Pelangi
Begitu mendengar kata Hotel Pelangi banyak di antara teman-teman saya yang memberi tanggapan menarik. Horor, singup, antik dan banyak lagi. Semua berintikan pada satu hal yaitu hotel ini termasuk bangunan kuno, dan seperti lazimnya bangunan kuno pasti ada cerita cerita 'lain' di baliknya.
Hotel ini memang sangat menarik. Nuansa lampau sangat terasa, hingga tak salah jika sejak tahun 2016 hotel ini dimasukkan sebagai cagar budaya oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang.
Syarat sebuah bangunan dapat dijadikan cagar budaya di antaranya memiliki usia lebih dari 50 tahun, masa jaya juga lebih dari 50 tahun dan memiliki nilai sejarah, dan Hotel Pelangi telah memenuhi semua itu.
Hotel yang dibangun pada tahun 1860 ini semula bernama Hotel Lapidoth, sesuai nama pendirinya yaitu Abraham Lapidoth, seorang pengusaha Belanda yang tinggal di Malang.
Lapidoth membangun hotel ini karena melihat prospek yang bagus dari Malang sebagai tempat wisata, dan benar saja di masa itu Hotel Lapidoth ternyata mendapat banyak kunjungan wisatawan.
Seiring berjalannya waktu di tahun 1870 dimana di Indonesia sedang dilakukan tanam paksa, di Malang sedang digalakkan penanaman kopi dan tebu.Â
Malang semakin mendapat banyak kunjungan dari pengusaha dan pekerja, dan nama hotel berubah menjadi Hotel Malang.
Pada tahun 1908 setelah Abraham Lapidoth meninggal, hotel ini berpindah pengelolaannya pada pemerintah Hindia Belanda. Nama hotel berubah menjadi Hotel Palace.
Pada tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia, termasuk juga Kota Malang nama hotel berubah lagi menjadi Hotel Asoma.
Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1945 ketika Jepang kalah, hotel kembali beralih nama menjadi Hotel Palace.Â
Di masa agresi militer pertama tahun 1947 ketika Malang dibumi hanguskan, Hotel Palace mengalami imbasnya dan mengalami kerusakan di bagian menara kembarnya.
Akhirnya hotel ini dibeli oleh seorang pengusaha kontraktor dari Banjarmasin yang bernama H. Sjachran Hoesin. Tahun 1953 hotel ini diberi nama Hotel Pelangi. Arsitektur hotel tetap dipertahankan dengan nuansa kolonial yang demikian kental.
Berjalan dan menikmati interior hotel ini membawa kita seolah terlempar ke masa lalu. Di bagian pintu masuk ruang makan terdapat tulisan Lodji coffeeshop dengan angka tahun 1915.
Potret Malang Tempo Dulu yang bertebaran di mana mana membuat kita teringat pada masa lalu, seperti jalan kereta api di Embong Brantas, Kantor Pos, Pasar Besar, gambar bemo kendaraan bermotor di saat itu dan banyak lagi.
Lukisan keramik yang ada di ruang makan juga tampak demikian cantik, menggambarkan suasana pedesaan Belanda di masa lalu.
Balkon yang ada di ruang makan juga tampak unik. Saya langsung membayangkan film zaman dulu yang ada adegan pesta atau berdansa bersama, lalu sang pemilik pesta muncul di balkon. Aha...
Ada berbagai cerita yang mewarnai hotel ini sehingga hotel ini agak angker menurut sebagian orang. Tidak salah kalau sebelum berangkat pelatihan teman saya berkata dengan nada bergurau," Nanti kabari kalau sudah ketemu dengan Noni Belanda ya...," Waduh... .
Begitulah sedikit cerita tentang Hotel Pelangi. Dengan arsitektur dan nuansa yang demikian khas, hotel ini telah berulang kali ganti nama, sebagai penanda dan saksi sejarah berbagai peristiwa yang terjadi di Malang kota tercinta.Â
Salam hangat dari Kota Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H