Mbak Sur menuju rumah dengan wajah ceria. Kupon berwarna hijau muda di tangan dikipas-kipaskannya. Sesekali senandung kecil mengiringi langkah kakinya. Â
Berkali- kali dipandanginya  kertas seukuran kartu pos itu.Â
Matanya berbinar-binar membaca tulisan di bagian belakangnya. Betapa tidak? Hidup lagi sulit-sulitnya tiba tiba ada pembagian kupon untuk paket sembako gratis.Â
Tidak main-main. Isi per paket adalah beras lima kilo, gula satu kilo dan minyak dua liter. Gratis. Sekali lagi gratis. Siapa yang tidak kepingin?Â
Kalau ditotal harga satu paket tersebut kira kira 125.000. Wow, betapa baik hati orang yang membagi bagi paket ini.
"Eits.., hati-hati..," kata Mbak Ipah yang hampir bertabrakan di gang. Keduanya kebetulan berpapasan.Â
"Aduh, maaf.., " kata Mbak Sur malu.
"Dari Pak Rahmat juga?" tanya Mbak Sur demi melihat Mbak Ipah membawa kupon yang sama
Mbak Ipah tersenyum lebar.
"Ya iyalah...," katanya ringan.
"Alhamdulillah, dapat gratisan.. pas garapan bapaknya sepi," lanjut Mbak Ipah.Â
Mas Parno, suami Mbak Ipah adalah tukang talang. Di musim kemarau seperti ini garapan talang sepi. Tentu saja, Â tidak ada hujan berarti tidak ada masalah talang bocor dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
"Sama..., pesanan jajanku ya sedang sepi .., mungkin karena tahun ajaran baru, orang butuh seragam, tidak butuh jajan," timpal Mbak Sur. Keduanya tertawa.Â
"Eh, ngomong-ngomong sumbangan ini dari mana ya?" tanya Mbak Ipah.
Mbak Sur memandang teman bicaranya dengan heran. "Lha, tadi 'kan diterangkan Mbak Wati?" Jawabnya.
"Iya, pas diterangkan tadi Cenik menangis, terpaksa kutinggal keluar sebentar, beli jajan buat Si Cenik,"
Cenik adalah anak Mbak Ipah yang paling kecil. Balita berumur sekitar dua tahun itu selalu dibawa kemanapun Mbak Ipah pergi.
"Oalah, ceritanya Pak Bejo kan mau nyalon lagi," jawab Mbak Sur lagi.
"Pak Bejo lurah kita? Mau nyalon lagi?"Â
"Iya.., istilahnya sekarang beliau petahana begitu," jawab Mbak Sur meyakinkan.
"Ooh, lha ini untuk apa?" tanya Mbak Ipah sambil menunjukkan kuponnya. Polos.
"Halah...., ya biasa lah..," kata Mbak Sur sambil tersenyum.Â
"Kaum 'Golek lemah' seperti kita kan selalu diingat pas ada pergantian lurah," tambahnya.
"Golek lemah?" tanya Mbak Ipah tidak mengerti.
Setengah tertawa Mbak Sur menjawab, "Golongan Ekonomi lemah,"
Mbak Ipah ikut tertawa.Â
"Alhamdulillah.., rapopo.., rezeki jangan ditolak..," kata Mbak Ipah yang disambung derai tawa keduanya.
***
Pagi yang cerah. Sebuah tenda terpal didirikan di depan rumah Pak Bejo. Beberapa kursi sofa diletakkan di depan sementara di belakang deretan kursi plastik sudah berjajar rapi.Â
Hidangan pala pendem diletakkan dalam piring-piring dan tak ketinggalan minuman dalam kemasan tertata rapi di dekatnya.
Pak Rahmat, ketua RT 20 sekaligus orang kepercayaan Pak Bejo sibuk mondar-mandir memberikan briefing ke sana- sini.
Alunan musik campur sari membuat suasana semakin gayeng. Satu demi satu tamu-tamu mulai hadir. Tamu hari itu adalah seluruh warga desa 'Makmur Selalu'.
Semakin siang tamu yang datang semakin banyak. Pak Bejo duduk di depan ditemani istri tercinta.Â
Bu Bejo yang demikian gandes luwes melemparkan senyum pada para hadirin. Dasar orangnya ayu, batik hijau yang dikenakan sarimbit dengan sang suami membuat penampilannya makin ayu.
Beberapa warga terutama kaum wanita menatap Bu Bejo dengan kagum juga iri. Duh..
"Monggo, ayo  duduk," kata Bu Bejo ketika  Mbak Sur dan Mbak Ipah datang. Mereka segera duduk di tempat yang ditentukan. Di sana sudah ada sekitar lima belas orang warga yang rupanya mendapat tempat khusus.
"Lho.., Pak No," kata Mbak Sur sambil duduk di sebelah Pak No. Jika ada pemberian sumbangan, Mbak Sur, Pak No dan Mbak Ipah selalu masuk dalam daftar penerima. Mereka sama-sama warga RT 20.
"Inggih, Mbak Sur.., ambil rezeki," kata Pak No sambil tertawaÂ
Pandangan mata tamu langsung terfokus pada pembawa acara yang mulai membacakan susunan acara hari itu.
Singkat kata hari itu adalah  syukuran ulang tahun Pak Bejo, sekaligus beliau meminta doa restu pada yang hadir karena akan mencalonkan diri lagi saat pemilihan lurah sebentar lagi.
Hadirin bertepuk tangan. Apalagi saat Pak Bejo membawakan pidatonya dengan santun dan teduh. Intinya marilah memilih pemimpin yang berpengalaman sekaligus peka pada kebutuhan warga.Â
"Hidup Pak Bejo..!" teriak yang hadir. Ya, untuk apa memilih orang yang tidak peka pada kebutuhan warganya? Harusnya tiap pemimpin mempunyai kepekaan dan empati pada yang dipimpin bukan?
Hadirin semakin semangat sekaligus terharu tatkala Pak Bejo mengatakan bahwa pemberian sumbangan sembako pada warga yang kurang mampu adalah wujud empati dan kasih sayang seorang pemimpin pada warga yang dipimpinnya.
"Karena kasih sayang lah yang membuat hidup kita lestari dan penuh harmoni," kata Pak Bejo di akhir pidatonya.
Suasana haru makin menyergap.
"Hidup Pak Bejo!"Â
Komando Pak Rahmat langsung diikuti yang lain.Â
"Hidup Pak Bejo!"
Tak mau kalah, dengan menjinjing tas berisi paket sembako di tangan kiri, tangan kanan Mbak Sur mengepal ke atas.Â
"Supaya tetap 'bejo', kita harus pilih Pak Bejo!" teriaknya.Â
Sejenak hadirin terpesona dengan pilihan kata Mbak Sur. Dan tak lama kemudian mereka membalas dengan teriakan, "Pilih Pak Bejo!"Â
Suasana semakin hangat. Musik mengalun tiada henti. Berbagai jenis hidangan disediakan. Soto, rawon, pecel juga rujak. Dua hidangan yang terakhir untuk mereka yang mulai ada masalah dengan kolesterol.
"Ayo tambah, " kata Pak Rahmat ramah.
Pak Min segera menuju ke stand pecel. Ini piring kedua setelah tadi ia menikmati rawon.
Pak Rahmat lari ke belakang sebentar karena tadi dijawil oleh Bu Bejo.
"Inggih Bu?" kata Pak Rakhmat sesampai mereka di dekat dapur.
"Semua sudah beres,to? Apa pesan bapak tadi?"Â
"Oh, sampun... Beres, semua sudah dibayar, termasuk tenda, catering juga timses," kata Pak Rahmat senang.
Bu Bejo tersenyum lega.
"Kekurangannya?"
"Pokoknya beres Bu, pakai jimpitan warga dulu, dana 'lain-lain' juga dipakai..," bisiknya.
Bu Bejo tersenyum senang. Musik terus mengalun, makanan terus dihidangkan, semua gayeng, semua seneng.Â
Sesekali kembali terdengar teriakan,"Hidup Pak Bejo!"
Cerpen ini diikutkan dalam sayembara Pulpen ke XVI
Penulis : Yuli Anita, guru matematika yang sedang belajar menulis cerpen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H