Dengan petunjuk Bagas yang mengajak mereka 'menoleh ke belakang', akhirnya satu per satu Lenni, Juna, Andrew, Dicky bisa berdamai dengan diri mereka, memaafkan masa lalu mereka dan berusaha memperbaiki kesalahan yang sudah diperbuat.Â
Dengan menoleh ke belakang. Kita bisa berdamai dengan masa lalu, memaafkan kesalahan diri dan berusaha menyelesaikan masalah yang terjadi. Karena masalah seharusnya dihadapi, bukan dihindari.Â
Berdamai dengan diri sendiri, menerima dengan ikhlas atas semua masalah sangat diperlukan agar langkah ke depan kita lebih ringan.
Mungkin karena itu, tokoh Bagas tidak pernah didatangi sosok hantu, karena ia bisa ikhlas atas masalah yang dihadapi. Masalah yang tidak ringan sebenarnya, karena Bagas yatim piatu sejak kecil.
Mulai awal hingga akhir kita diajak tertawa, tegang, sekaligus terharu secara berganti-ganti. Kadang di titik di mana kita sangat terharu karena dialog-dialog yang tercipta (seperti dalam adegan ketika dhemit yang sesungguhnya mengaku), tiba-tiba kita dibuat tertawa oleh celetukan-celetukan para tokohnya.
Di samping kesetiakawanan dan kegigihan, sekilas film ini juga memberikan pelajaran tentang betapa jahatnya bullying, judi online juga jangan sampai kita melakukan korupsi. Mengapa? Bukan hanya pelaku korupsi yang mendapatkan hukuman, tapi keluarganya juga akan mendapat sanksi dari orang sekitarnya.
Salut pada Sekawan Limo yang hampir seluruh adegannya diisi dengan bahasa daerah. Dialek khas Malang, Surabaya bahkan Jogja begitu tampak , menyadarkan kita bahwa perbedaan di antara kita menciptakan keindahan sekaligus unik.
Menariknya film ini juga menggandeng Kartolo dan Ning Tini, pasangan seniman ludruk yang sangat terkenal.Â
Meski muncul cuma sebentar, kehadiran Kartolo lewat celetukan dan dialognya membuat film ini semakin segar.
Satu catatan terakhir, mungkin sebaiknya kosa kata khas Malang dan Surabaya yang saya sebut di atas sebagai 'misuh' itu dikurangi agar dialog tidak terkesan kasar sehingga film bisa lebih enak untuk dinikmati.Â