Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Catatan Lain dari Film "Sekawan Limo"

12 Juli 2024   04:32 Diperbarui: 15 Juli 2024   18:37 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siapa hantunya? , sumber gambar: Instagram Sekawan Limo

Sekawan artinya empat, dan limo artinya lima. Jika kita berlima sekarang ini, berarti satu dari kita bukan manusia (dialog dalam film Sekawan Limo)

Catatan tentang film Sekawan Limo ini saya buat setelah Rabu siang saya diajak anak saya nonton di Dieng Cyber Mall. Film dimulai pukul 13.15 dan diakhiri pukul 15.15 wib.

Ulasan tentang Sekawan Limo sudah pernah ditulis oleh beberapa Kompasianer. Jujur, saya tertarik melihat film ini karena membaca review dari teman-teman di Kompasiana.

Sehari sebelum review itu tayang, saya berjalan-jalan ke MATOS (Malang Town Square)  dan membaca poster film ini di Cinepolis. 

"Sepertinya bagus ya Buk?" kata anak saya.

"Horor ya..," kata saya

"Pasti banyak 'misuh' nya," tambah saya sambil tertawa ketika melihat wajah Bayu Skak ada di sana.

Sekawan Limo, dokumentasi pribadi 
Sekawan Limo, dokumentasi pribadi 

Ya, saya  pernah melihat film dari Bayu Skak sebelumnya  yang berjudul Yo Wis Ben. Dan memang disitu banyak dialog yang memunculkan satu kata khas daerah Malang dan Surabaya. 

Bagi yang terbiasa menggunakannya kata tersebut tidak kasar, bahkan justru menggambarkan keakraban. Namun bagi yang tidak biasa, kata tersebut terasa kasar dan kami menyebutnya 'misuh'. 

Mulanya saya kurang berminat juga karena ini film horor. Tapi ketika diterangkan dalam review bahwa film ini mengandung unsur komedi tapi juga mengharukan, saya jadi tertarik.

Film ini bercerita tentang lima orang yang melakukan pendakian ke gunung Madyopuro. Lima orang tersebut baru bertemu di lokasi (kecuali Bagas dan Lenni) yang akhirnya bergabung menjadi satu rombongan.

Banyak peristiwa yang mereka alami selama melakukan pendakian. Dalam film ini digambarkan pergulatan dalam diri masing-masing tokohnya yaitu Bagas, Lenni, Dicky, Andrew dan Juna dengan masalah yang membebani diri masing-masing. 

Ya, setiap tokoh di sini mempunyai masalah masing-masing sehingga punya tujuan yang berbeda dalam perjalanan mendaki Gunung Madyopuro. 

Lenni ingin menghapus rasa berdosa karena ia merasa menjadi penyebab meninggalnya ibunya, Dicky ingin mencari jimat di Gunung Madyopuro karena ia terlibat judi online sehingga mempunyai banyak hutang.

Juna yang sering di-bully karena anak koruptor, juga Andrew yang kekasihnya hamil dan hubungannya kurang direstui oleh orang tuanya karena keluarga mereka berbeda 'kasta'.Satu satunya tujuan yang paling sederhana adalah Bagas yang ingin mengantar Leni karena ia suka pada gadis ini.

Dokumentasi pribadi 
Dokumentasi pribadi 

Ada satu mitos yang mengatakan bahwa jumlah pendaki dalam satu rombongan harus genap, dan dalam perjalanan mereka tidak boleh menoleh ke belakang. 

Di sini cerita berjalan semakin asyik. Karena jumlah mereka dalam satu rombongan adalah lima akhirnya mereka mulai sadar bahwa satu di antara mereka bukan manusia alias dhemit. 

Rasa curiga mulai timbul di antara mereka karena dalam perjalanan mereka terus berputar-putar dan selalu dibayangi hantu masing-masing. 

Menoleh ke belakang. Kata yang berlawanan dengan mitos ini ternyata justru menjadi kunci pemecahan masalah.

Dengan petunjuk Bagas yang mengajak mereka 'menoleh ke belakang', akhirnya satu per satu Lenni, Juna, Andrew, Dicky bisa berdamai dengan diri mereka, memaafkan masa lalu mereka dan berusaha memperbaiki kesalahan yang sudah diperbuat. 

Dengan menoleh ke belakang. Kita bisa berdamai dengan masa lalu, memaafkan kesalahan diri dan berusaha menyelesaikan masalah yang terjadi. Karena masalah seharusnya dihadapi, bukan dihindari. 

Berdamai dengan diri sendiri, menerima dengan ikhlas atas semua masalah sangat diperlukan agar langkah ke depan kita lebih ringan.

Mungkin karena itu, tokoh Bagas tidak pernah didatangi sosok hantu, karena ia bisa ikhlas atas masalah yang dihadapi. Masalah yang tidak ringan sebenarnya, karena Bagas yatim piatu sejak kecil.

Mulai awal hingga akhir kita diajak tertawa, tegang, sekaligus terharu secara berganti-ganti. Kadang di titik di mana kita sangat terharu karena dialog-dialog yang tercipta (seperti dalam adegan ketika dhemit yang sesungguhnya mengaku), tiba-tiba kita dibuat tertawa oleh celetukan-celetukan para tokohnya.

Di samping kesetiakawanan dan kegigihan, sekilas film ini juga memberikan pelajaran tentang betapa jahatnya bullying, judi online juga jangan sampai kita melakukan korupsi. Mengapa? Bukan hanya pelaku korupsi yang mendapatkan hukuman, tapi keluarganya juga akan mendapat sanksi dari orang sekitarnya.

Salut pada Sekawan Limo yang hampir seluruh adegannya diisi dengan bahasa daerah. Dialek khas Malang, Surabaya bahkan Jogja begitu tampak , menyadarkan kita bahwa perbedaan di antara kita menciptakan keindahan sekaligus unik.

Menariknya film ini juga menggandeng Kartolo dan Ning Tini, pasangan seniman ludruk yang sangat terkenal. 

Dekat pintu masuk, dokumentasi pribadi 
Dekat pintu masuk, dokumentasi pribadi 

Meski muncul cuma sebentar, kehadiran Kartolo lewat celetukan dan dialognya membuat film ini semakin segar.

Satu catatan terakhir, mungkin sebaiknya kosa kata khas Malang dan Surabaya yang saya sebut di atas sebagai 'misuh' itu dikurangi agar dialog tidak terkesan kasar sehingga film bisa lebih enak untuk dinikmati. 

Salam Kompasiana  

Keterangan:

Misuh: berkata kotor, kurang pantas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun