Suatu hari saya terlibat diskusi dengan dua orang siswa. Hari itu topik yang kami bicarakan adalah bagaimana cara menghitung luas permukaan bangun ruang sisi datar. Bangun ruang yang kami bicarakan adalah  prisma segitiga.Â
Sebuah peraga kami letakkan di meja untuk diamati bersama.
"Sisi bangun ini ada berapa?" tanya saya sambil mendekatkan peraga tersebut pada siswa. Keduanya langsung menunjuk sisi-sisi bangun hampir bersamaan.
"Lima , Bu, tiga sisi berbentuk persegi panjang, dua sisi berbentuk segitiga," jawab salah satu siswa.
"Pintar, luas permukaan bangun ruang adalah total jumlah luas semua sisi-sisinya. Berarti bagaimana mencarinya?"
"Luas tiga persegi panjang ditambah dua segitiga, Bu,"
" Nah, Bagaimana cara mencari luas persegi panjang?" tanya saya lagi.
"Panjang kali lebar, Bu," jawab keduanya hampir bersamaan. Aha, pertanyaan yang sangat mudah.Â
"Berarti tak ada masalah. Sekarang kita cari luas alas dan tutupnya,"Â
"Bagaimana mencari luas segitiga?" Lanjut saya.
Tiba-tiba keduanya diam. Salah satu langsung berkata," Maaf, kami lupa , boleh browsing sebentar, Bu?"pintanya polosÂ
Deg, saya begitu terkejut. Masa mencari luas segitiga harus browsing?Â
Saya segera mengambil secarik kertas berbentuk persegi panjang.Â
"Bagaimana cara mencari luasnya?" tanya saya.
"Panjang kali lebar," jawab mereka lagi.
Kertas saya lipat jadi dua pas pada diagonalnya sehingga membentuk dua segitiga.
"Apakah luasnya setengah persegi panjang?"tanya saya .
"Benar, Bu,"
"Bagus, berarti luasnya berapa?" kejar saya.
"Setengah kali panjang kali lebar?" Jawab mereka
"Pintar, dalam luas segitiga diistilahkan setengah kali alas kali tinggi," tambah saya. Keduanya tampak puas.
Di atas adalah cerita ketika saya sedang mempersiapkan siswa untuk ujian praktik matematika.Â
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang ujian praktik tersebut, tapi tentang bagaimana siswa sekarang mudah sekali lupa tentang hal yang dipelajari.
 Seperti contoh di atas, bahkan siswa kelas sembilan lupa bagaimana cara mencari luas segitiga. Hal yang harusnya sudah dihafal dan dipahami sejak mereka SD.
Hal yang sama juga terjadi pada mapel lain. Banyak teman guru mengatakan siswa sekarang mudah sekali lupa. Hal yang dipelajari sekarang, tiga hari berikutnya atau bahkan besok sudah lupa.
Kadang kami berpikir karena zaman sekarang sangat banyak 'gangguan ' siswa untuk berkonsentrasi. Â Kita lihat game begitu banyak, informasi dan hiburan ada dalam genggaman mereka.Â
Namun ternyata ada satu hal yang harus diwaspadai bersama yaitu dimensia digital.
Tentang Demensia Digital
Dari Psychology Today diterangkan bahwa Demensia Digital" adalah istilah yang diciptakan oleh ahli saraf Manfred Spitzer. Kondisi ini menggambarkan penggunaan teknologi digital secara berlebihan yang mengakibatkan terganggunya kemampuan kognitif seseorang.
Demensia digital ditandai dengan memburuknya memori jangka pendek. Ya,  kita menggunakan teknologi secara berlebihan, sehingga malas mengingat informasi, dan "menitipkan ingatan" kita dengan cara menyimpannya  ke dalam gadget.
Tidak bisa dipungkiri kehadiran smartphone membuat beban kita untuk menyimpan informasi menjadi lebih ringan.Â
Bagaimana tidak? Segala sesuatu sampai hal yang sekecil kecilnya bisa kita peroleh dengan cara browsing. Apa akibatnya? Kita malas mengingat. Sebagaimana pisau yang tidak pernah diasah maka kemampuan kognitif kita juga akan mengalami penurunan.Â
Dalam pengamatan saya, terlalu banyak mengandalkan gadget sebagai penyimpan informasi membuat banyak di antara siswa mempunyai ingatan kurang bagus.
Siswa sering terheran-heran ketika saya bercerita bahwa zaman sekolah dulu, kami yang masih  duduk di kelas dua SD harus sudah hafal perkalian 1x1 sampai 10x10.
Atau ketika saya ceritakan bahwa saat kelas empat SD, kami harus hafal ibukota 27 propinsi di Indonesia (saat itu jumlah propinsi masih 27).Â
Kelas enam, kami  harus hafal dengan 36 butir Pancasila dan setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, bergantian kami maju di depan kelas membaca butir butir Pancasila tanpa teks.  Mantap sekali bukan?
Jauh dengan kondisi saat ini di mana siswa kelas tujuh masih banyak yang belum hafal perkalian atau pembagian, bahkan untuk  penjumlahan bilangan bulat positif dan negatif masih sering salah.Â
Dalam sebuah kesempatan guru IPS menceritakan bahwa nama dan posisi pulau di Indonesia masih banyak yang belum  hafal. Â
Apakah anak anak mulai mengalami demensia digital? Mungkin tidak bisa langsung disimpulkan seperti itu, karena faktor lain yang menyebabkan anak sekarang lebih sulit mengingat juga banyak. Tapi mari kita lanjutkan pembahasan tentang dimensia digital ini.
Penyebab utama dari dimensia digital adalah  screen time atau penggunaan gadget yang terlalu berlebihan.
Gadget adalah barang yang sangat akrab dengan kehidupan kita sekarang. Dilansir dari Kompas.com, jumlah smart phone yang beredar di Indonesia pada tahun 2023 sekitar  354 juta buah, jauh melebihi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 278,69 juta jiwa pada tahun yang sama. Jumlah yang sangat fantastis.
Indonesia juga memiliki waktu rata rata screen time yang sangat menghawatirkan yaitu 5,7 jam perhari. Melebihi ukuran screentime yang baik yaitu maksimal 4 jam untuk orang dewasa.Â
Berikut adalah durasi screen time yang baik, menurut  laman Instagram Ditjen GTK Kemendikbud Ristek:
1. Usia 0-2 tahun: sama sekali tidak diperbolehkan untuk screen time.
2. Usia 2-3 tahun: selama 30 menit per hari  untuk screen time dengan konten edukasi.
3. Usia 3-5 tahun: tidak lebih dari 1 jam per hariÂ
4. Usia lebih dari 5 tahun: maksimal 2 jam per hariÂ
5. Usia remaja dan dewasa: maksimal 4 jam per hariÂ
Siswa sekarang  yang didominasi oleh generasi Z (lahir tahun 1997-2012) dan alpha (lahir mulai tahun 2013) adalah generasi yang lahir dalam era digital yang sudah mapan.Â
Mereka tumbuh dengan smartphone, medsos dan internet yang merajai kehidupan mereka sehari-hari. Akibatnya generasi ini sangat rentan terpapar akibat buruk dari screen time yang berlebihan.
Akibat buruk pemakaian gadget yang berlebihan di antaranya adalah resiko mengalami obesitas, pola dan kualitas tidur tidak baik, bahkan mengalami perkembangan yang terlambat, baik daya pikir maupun fisik.
Terlalu banyak screen time juga membuat perkembangan otak kiri begitu pesat, sementara otak kanan kurang maksimal perkembangannya. Sementara seseorang akan mempunyai daya pikir yang tajam jika kedua bagian otak distimulasi dengan baik.
Kurangi penggunaan gadget, hal tersebut kiranya harus segera dilakukan agar anak anak kita terhindar dari dampak buruk screen time yang berlebihan.
Melakukan hobi, ngobrol, olah raga, jalan-jalan adalah sebagian cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak buruk screen time.
Penggunaan gadget dalam pembelajaran juga harus dilakukan secara bijak. Sepertinya metode 'lawas' seperti mencatat, merangkum , perlu dilakukan kembali karena ada kecenderungan siswa malas mencatat karena catatan lengkapnya sudah ada di google.Â
Penggunaan teknologi memang banyak manfaatnya, namun jika dilakukan secara berlebihan, mudharatnya juga amat besar. Jangan sampai penggunaan teknologi yang berlebihan justru menurunkan kualitas kita sebagai umat manusia.
Akhirnya kembali ke judul di atas, apakah anak-anak kita sekarang banyak yang mengalami demensia digital karena penggunaan gadget yang berlebihan? Silakan pembaca Kompasiana menilai sendiri.
Semoga bermanfaat dan salam edukasi:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H