"Bothok, pecel, urap-urap,... !"
Teriakan itu selalu membuat ' gaduh' kampung kami setiap pagi. Dengan penuh semangat sang pemilik suara membangunkan kami yang sedang mala- malasan atau bahkan masih lelap tertidur.
Namanya Mbak Sur. Perawakannya kecil tapi gesit. Di usia awal 50 an ia masih tampak lincah. Barangkali karena aktivitasnya yang luar biasa.
"Mbaak, bothok kemangi, Mbaak..!" teriakan Mbak Sur semakin membahana.
Kadang senang, kadang bising juga rasanya saat mbak Sur mulai menjajakan dagangannya. Senang jika hari itu ada rencana untuk tidak memasak, Mbak Sur selalu datang dengan berbagai macam masakan di keranjangnya.
Bising karena suara Mbak Sur sangat keras. Saya curiga, jangan-jangan Mbak Sur semasa sekolah sering jadi komandan upacara.
Semenjak suaminya sakit, kiprah mbak Sur untuk menghidupkan roda ekonomi sangat besar. Meski hidup hanya berdua dengan Pak Seto suaminya, yang namanya kebutuhan tiap hari harus tetap dipenuhi.
Dalam pengamatan saya semenjak suaminya sakit bisnis Mbak Sur justru semakin berkibar. Dengan membawa keranjang besar yang diletakkan di atas kepala dan sebagian lagi dijinjing, Mbak Sur berkeliling kampung membawa berbagai macam masakan, baik masakan sendiri atau masakan orang lain.
Menurut saya pribadi masakan Mbak Sur jauh lebih enak daripada buatan orang lain. Sebutlah sambel pecel khas Ngawinya yang pedas dan sedap, oseng pare yang pahit tapi membuat ketagihan, juga lodeh tewel yang sangat 'mak nyus' rasanya.
Membicarakan Mbak Sur rasanya tidak lengkap jika tidak dikaitkan dengan politik. Mengapa? Mbak Sur sangat melek politik. Pembicaraan di antara kami di kampung sering nyerempet politik. Tentang pilpres, pileg bahkan calon presiden atau legislative  yang diandalkan. Tentunya dengan ramesan dan tafsir sebisanya khas orang kampung seperti kami.
Pada saat ramai-ramainya pileg dan pilpres tahun lalu, Â Mbak Sur tampak begitu sibuk. Berkali-kali ia keluar rumah. Bahkan di depan rumahnya ada spanduk kecil yang berisi foto caleg dan lambang partai tertentu.
Jika biasanya ia berkeliling kampung membawa makanan, kini kelilingnya membawa map. Wah, penampilan baru, pikir saya.
Sore itu dengan berbusana rapi, tak seperti biasanya Mbak Sur bertamu ke rumah saya. Sikapnya sedikit formal.
"Mbak, sampeyan mau pisau dapur yang bagus? " tanya Mbak Sur pada saya sambil menunjukkan pisau stainless steel yang ada 'rumahnya'. Khas pisau mahal.
"Ya mau, " jawab saya tertarik. Pikir saya Mbak Sur jualan pisau dan dikreditkan.
Ternyata bukan..
" Syaratnya, saya minta fotocopy KTP dan KK, " kataMbak Sur sambil membuka mapnya. Ada tertera nama- nama, alamat dan no KTP dan KK warga di sana. Saya tiba tiba merasa kurang enak. Pikiran saya langsung mengarah ke foto caleg yang ada di depan rumah Mbak Sur.
"Mboten pun Mbak Sur, saya pikir mau dijual? Siapa sih yang bagi-bagi pisau? " tanya saya ingin tahu.
"Ooh, ini caleg, mbak, saya tim suksesnya, " katanya bangga.
" Dari partai apa? " tanya saya penasaran.
"Ya mbuh.., bukan urusan saya. Yang penting saya dapat pisau, " jawabnya ringan.
Dalam hati saya tertawa. Kok bisa-bisanya tim sukses tidak tahu partainya?
Di akhir tahun 2020 Mbak Sur mengadakan arisan putaran baru untuk orang-orang kampung. Sebagai borg yang sangat dipercaya kredibilitasnya, begitu arisan lama habis harus ada arisan baru penggantinya. Â
Arisan baru dengan besaran Rp 100.000 ini sangat seru, karena pengikutnya banyak sehingga  dapatnya lumayan. Sekitar lima juta rupiah.
Sampai tahun 2023 ini saya belum mendapat tanda-tanda kapan arisan akan selesai. Saya mulai resah. Maklumlah, kalau sudah dapat arisan, rasanya seperti tinggal bayar hutang saja.
Suatu saat saya ada kesempatan untuk ngobrol dengan Mbak Sur masalah arisan ini.
" Ini masih lama ya, Mbak Sur? " tanya saya.
"Lho.. Masih lama, Mbak, "jawab Mbak Sur.
"Ooh, ? " tanya saya agak kecewa.
"Pokoknya arisan ini nanti habisnya pas Pak Joko turun. Dapatnya lima juta lebih, " jawabnya mantap.
"Pak Joko siapa?" kejar saya. Kok rasanya akrab sekali cara Mbak Sur memanggilnya.
"Pak Jokowi," jawabnya ringan.
"Ooh, begitu ya..." kata saya sambil tertawa.
Asli, saya suka dengan cara mbak Sur menyebut nama Pak Joko. Sepertinya Pak Joko itu kenalan dekatnya, atau tetangga sebelah rumah.
Mungkin karena Mbak Sur dan suaminya penggemar berat Pak Jokowi.
Pagi ini ketika berjualan dan hendak keluar gang Mbak Sur agak tertegun. Ada bendera NU bertebaran dimana-mana dan di sela- selanya ada bendera PDI. Sementara di kampung seberang bendera NU dan PKS berjajar dengan manisnya. Sebuah pemandangan yang sangat langka.
Aha, rupanya ada angin segar yang berhembus di mana-mana. Pencalonan Pak Ganjar dan Pak Mahfud membuat bendera NU dan PDI bersanding mesra, sementara pencalonan Pak Anis dan Pak Muhaimin membuat bendera NU berkibar di kampung seberang yang selama ini agak berbeda paham dengan kampung kami.
Jelasnya kampung kami masih setia dengan Manaqiban, Dibaan, Yasinan, sementara kampung seberang tidak melaksanakan segala ritual itu. Perbedaan yang membuat sedikit ada keengganan kami untuk berakrab-akrab dengan saudara di kampung seberang.
He..he..Mbak Sur tersenyum cerah. Jika biasanya ia agak segan masuk kampung seberang,namun tidak untuk kali ini. Dengan langkah pasti ia berjalan ke seberang untuk menawarkan barang  dagangannya.
 Ya, barokah pencapresan membuat daerah spreadingnya menjadi lebih luas dan harapannya rezekinya akan semakin bernas.
Mbak Sur terus melangkah. Lha wong politik saja kok dibuat ruwet. Bagi wong cilik  seperti dirinya yang penting semua gayeng, seneng, rukun dan seduluran selawase..
Pilihan boleh berbeda, tapi persatuan NKRI harga mati, tekadnya.
"Bothok, pecel, urap-urap,... !"
Arti Istilah :Â
gayeng, seneng, dan seduluran selawase.. : gembira dan tetap bersaudara selamanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H