Suatu hari seorang ibu yang masih muda mendatangi saya. Dengan wajah kusut ia bercerita bahwa anaknya yang duduk di TK B belum pandai berhitung.Â
"Kenapa ya Bun, Nanda kok sulit sekali berhitung?" katanya.
"Sulit bagaimana?" Tanya saya heran. Setahu saya Nanda yang sering bermain di rumah saya anaknya lucu, periang dan banyak tanya. Tidak ada masalah tertentu sepertinya.
"Di sekolah menghitungnya kurang cepat Bun, kalah sama teman-temannya," katanya lagi.
Saya tersenyum.Â
"Tahapan tiap anak kan berbeda Mbak? Barangkali Nanda belum minat belajar berhitung?" tanya saya.
"Tapi teman-temannya bisa, Bun, masak anak saya harus saya tes kan psikologi ya?" katanya khawatir.
Esok harinya saya mengajak bicara Nanda yang sedang bermain manik-manik di rumah saya.Â
"Nanda di sekolah duduk sama siapa?" tanya saya.
"Sama Rara, Elsa, Miana juga Desta," katanya cepat. Tangan Nanda tak henti-hentinya memindahkan manik-manik dari satu wadah ke wadah yang lain.Â
"Nanda belajar apa di sekolah?" tanya saya lagi.
"Banyak, nyanyi, menggambar, membaca, bercerita, matematika,"
"Tapi Nanda tidak suka matematika," katanya sambil tersenyum
"Lho, kenapa?"
"Nanda tidak bisa, sulit," jawabnya lagi.Â
Sambil bercerita Nanda terus bermain. Ia mengelompok-kelompokkan manik-manik berdasarkan warna dan bentuknya.
"Coba Nanda, manik- manik yang biru bawakan ke sini lima," kata saya.
Dengan sigap Nanda membawa lima manik-manik biru lima buah.Â
"Lagi yang merah, tiga saja, "
Nanda cepat menyerahkan tiga manik- manik merah.Â
Manik-manik itu saya jejer di meja. "Nah, sekarang manik-maniknya berapa?" tanya saya.
Dengan sigap Nanda menghitung dan..
"Delapan!" katanya cepat.Â
"Pintar..!" kata saya.Â
Nanda tampak senang.
Pertanyaan saya tambah dengan 2 +3, 4 +5 , 2+2 dan banyak lagi. Semua bisa dijawab lancar oleh Nanda dengan menggunakan manik manik sebagai medianya. Tentu saja di sela-sela belajar berhitung itu ia terus bercerita dan bercerita.
Kesimpulan saya Nanda tidak ada masalah dengan kemampuan matematikanya. Untuk anak seusianya, ia bisa menghitung dengan baik, terutama penjumlahan.
Esok harinya hal tersebut saya ceritakan pada Mama Nanda. Reaksi mama Nanda ternyata tidak terlalu surprise.
"Kalau menghitung pakai benda Nanda bisa Bun, ini menghitungnya membayangkan," katanya.
"Waduh, membayangkan bagaimana?" tanya sayaÂ
Ibu Nanda mulai menerangkan
"Contohnya tiga tambah empat. Supaya menghitungnya cepat, tiga simpan di kepala, dan tangan memasang empat jari. Habis itu kita mulai menghitung.... tiga (sambil menunjuk kepalanya), empat, lima, enam, tujuh. Jadi tiga tambah empat sama dengan tujuh," katanya.
"Oh, yang jadi masalah Nanda sulit pakai cara itu?" tanya saya mulai mengerti.
"Benar Bun, padahal teman-temannya banyak yang sudah bisa," katanya khawatir.
Ah, ternyata ini masalahnya.Â
Ibu Nanda berharap anaknya bisa berhitung dengan 'membayangkan' secara cepat seperti teman-temannya, sementara Nanda bisa berhitung dengan cara yang lebih nyata yaitu menggunakan manik-manik.Â
Rupanya guru Nanda di sekolah selalu menggunakan cara 'disimpan di kepala'. Cara ini dianggap lebih cepat dan sebagian besar siswa bisa menguasainya. Kecuali Nanda tentu saja.
Peristiwa di atas sering terjadi dalam pembelajaran matematika khususnya pada anak usia dini atau awal SD.
Dalam proses belajar di rumah ataupun di sekolah, tidak jarang orang tua atau guru memaksa siswa memahami sesuatu dengan cara tertentu, sementara siswa lebih suka dengan cara yang lain.Â
Perbedaan ini kadang menimbulkan kekhawatiran orang tua, apakah anaknya mampu mengikuti pembelajaran matematika?
Mungkin pembaca bertanya, lho, anak TK kok sudah mendapatkan matematika?Â
Ya, meski menurut kurikulum merdeka siswa TK tidak perlu belajar matematika, namun tidak ada salahnya mengenalkan matematika pada mereka.
Pengenalan matematika pada usia dini bisa dilakukan melalui pengenalan angka, konsep hitung sederhana, pengenalan bentuk geometri, juga pola.
Pengenalan matematika pada usia dini secara tepat bisa memberikan banyak manfaat pada siswa. Seperti siswa belajar berpikir logis, berlatih teliti, kecermatan, dan lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran matematika di tingkat selanjutnya.Â
Sebaliknya jika pengenalannya dengan cara yang tidak tepat, akan justru membuat siswa tidak menyukai matematika.Â
Ada hal-hal penting yang harus diperhatikan saat mengenalkan matematika pada siswa PAUD, di antaranya adalah:
1. Jangan jadikan matematika sebagai pembelajaran utama, tapi ciptakan kegiatan yang mengandung matematika. Contohnya lewat lagu atau berbagai permainan yang di dalamnya memuat unsur matematika.
Tentunya para pembaca sangat kenal dengan lagu berikut:Â
Dua mata Saya. Hidung saya satu. Dua kaki saya, pakai sepatu baru. Dua tangan saya, yang kiri dan kanan. Satu mulut saya tidak berhenti makan.
Di atas adalah contoh lagu yang di dalamnya ada unsur matematika yaitu pengenalan angka.
Contoh belajar matematika dengan permainan misalnya menggunakan balok balok aneka bentuk geometri untuk membuat bangun baru, pengenalan pola lewat bermain manik-manik, dan banyak lagi.
2. Tidak memaksakan satu metode untuk memahami konsep matematika.Â
Ini seperti contoh di atas. Nanda tidak bisa berhitung dengan menggunakan metode yang digunakan gurunya. Ia lebih paham dengan menghitung manik-manik.Â
Dalam kasus ini menurut pandangan saya sebaiknya guru mengikuti metode belajar yang siswa lebih mudah menguasainya. Yang penting konsep berhitung masuk, dan siswa memahaminya.Â
Memaksa siswa belajar dengan metode yang menurutnya sulit hanya membuat siswa menjadi stress, merasa dirinya tidak bisa dan akhirnya tidak suka matematikaÂ
3. Tidak memaksa siswa memahami matematika dalam waktu yang cepat.Â
Ya, tiap anak mempunyai kecepatan yang berbeda dalam belajar. Ada yang cepat mengerti, ada pula yang tidak kunjung mengerti. Tidak apa, tugas guru adalah selalu memberikan stimulus dan motivasi agar siswa suka belajar matematika.
Adalah penting melakukan pendekatan yang menyenangkan dalam memperkenalkan matematika pada anak usia dini. Dengan wajah matematika yang lebih ramah diharapkan anak akan semakin mencintai matematika.
Dan yang tak kalah penting adalah para orang anak usia dini tidak perlu terlalu khawatir jika anaknya kelihatan belum bisa matematika. Stop membandingkan satu anak dengan anak lain, karena setiap anak unik dan mempunyai kecepatan belajar yang berbeda.
Biarkan anak berkembang sesuai dengan keunikannya masing-masing.Â
Di akhir tulisan ini saya ingin mengutip nasehat dari Ibu Elly Risman seorang pakar psikologi bahwa pada anak usia dini yang pertama berkembang adalah pusat perasannya , karenanya biarkan mereka tumbuh menjadi anak yang bahagia, jangan paksa mereka menjadi anak yang pintar. Karena pintar itu ada masanya.Â
Semoga bermanfaat, dan salam matematika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H