Ibu Nanda mulai menerangkan
"Contohnya tiga tambah empat. Supaya menghitungnya cepat, tiga simpan di kepala, dan tangan memasang empat jari. Habis itu kita mulai menghitung.... tiga (sambil menunjuk kepalanya), empat, lima, enam, tujuh. Jadi tiga tambah empat sama dengan tujuh," katanya.
"Oh, yang jadi masalah Nanda sulit pakai cara itu?" tanya saya mulai mengerti.
"Benar Bun, padahal teman-temannya banyak yang sudah bisa," katanya khawatir.
Ah, ternyata ini masalahnya.Â
Ibu Nanda berharap anaknya bisa berhitung dengan 'membayangkan' secara cepat seperti teman-temannya, sementara Nanda bisa berhitung dengan cara yang lebih nyata yaitu menggunakan manik-manik.Â
Rupanya guru Nanda di sekolah selalu menggunakan cara 'disimpan di kepala'. Cara ini dianggap lebih cepat dan sebagian besar siswa bisa menguasainya. Kecuali Nanda tentu saja.
Peristiwa di atas sering terjadi dalam pembelajaran matematika khususnya pada anak usia dini atau awal SD.
Dalam proses belajar di rumah ataupun di sekolah, tidak jarang orang tua atau guru memaksa siswa memahami sesuatu dengan cara tertentu, sementara siswa lebih suka dengan cara yang lain.Â
Perbedaan ini kadang menimbulkan kekhawatiran orang tua, apakah anaknya mampu mengikuti pembelajaran matematika?