Home visit yang dilakukan pada akhirnya memberikan hasil yang menggembirakan. Banu yang sudah tidak mau sekolah akhirnya mau mengikuti ujian praktik dan tulis juga menuntaskan segala tugas yang tertinggal hingga akhirnya lulus dari SMP.
Akan halnya Dewi, strategi yang sama dilakukan sekolah. Home visit dilakukan untuk mengetahui kondisi keluarga dan minta dukungan orang tua agar mendorong Dewi supaya segera mau masuk sekolah.
Namun rupanya daya tarik lingkungan pertemanan membuat Dewi tetap enggan masuk sekolah. Usaha orang tua membujuk anaknya masuk sekolah mengalami kebuntuan, dan akhirnya orang tua menyerah.Â
Pada titik di mana orang tua menyerah, masalah menjadi semakin tidak jelas. Usaha sekolah untuk menarik Dewi masuk sekolah tidak memberikan hasil yang diinginkan dan akhirnya Dewi tidak mau melanjutkan sekolah.
Upaya terakhir yang di lakukan sekolah adalah mencarikan kejar paket B agar Dewi tetap bisa melanjutkan pendidikannya.Â
Dua contoh di atas menunjukkan betapa pentingnya kerjasama pihak sekolah dengan orang tua agar siswa yang 'tergoda' untuk berhenti sekolah bisa kembali bersekolah.
Penting juga bagi orang tua untuk mengetahui lingkungan pertemanan siswa agar mereka tidak tergoda untuk melakukan hal-hal yang tidak baik yang pada akhirnya merugikan masa depan mereka sendiri.
Dari data BPS diketahui bahwa angka putus sekolah di jenjang SMP tercatat sebesar 1,06% pada 2022. Di tahun 2021 angka putus sekolah adalah 0,90%, berarti mengalami  peningkatan 0,16%.
Angka putus sekolah di jenjang SD juga mengalami peningkatan. Di tahun 2021 prosentasenya adalah 0,12% dan di tahun 2022 menjadi 0,13%.Â
Tingginya angka putus sekolah menimbulkan banyak masalah sosial di masyarakat, seperti meningkatnya angka kenakalan dan pengangguran yang bisa menjadi pemicu berbagai masalah sosial yang lain. Â