Cerita Tentang Banu
Banu menatap langit langit kamarnya dengan gelisah. Dibiarkan saja HPnya yang bergetar dari tadi. Panggilan ke tiga dari ibu wali kelas, dan ia sungguh tak ingin atau lebih tepatnya tak berani menjawabnya.
Sejak kemarin Bu Ani, wali kelasnya mengirim pesan. Sudah tiga hari Banu tidak masuk tanpa keterangan. Padahal aturannya izin atau sakit harus ada surat. Jika sakit lebih dari dua hari harus ada surat keterangan dokter.
Sakit? Bukan. Badannya sehat-sehat saja. Hanya mungkin kepalanya yang terasa penuh. Betapa tidak, sudah lebih dari satu minggu ibuk sakit . Demam panas menggigil.Â
Entah mengapa ibuk sering sakit akhir-akhir ini. Perkiraan semua saudara ibuk kecapekan. Tidak salah juga sih ..
Ibuk pencari nafkah setiap hari sejak bapak pergi entah kemana.
Yang Banu tahu sejak ia kelas 4 SD bapak tidak pernah pulang dan ibuk jadi penyangga ekonomi keluarga mereka. Meski hanya bertiga, tapi rupanya berat menjadi penyangga ekonomi satu-satunya. Buktinya Mbak Tari kakak Banu tidak bisa melanjutkan ke SMA.
 Menjual gorengan itu yang dilakukan ibuk setiap hari. Ibuk berjualan gorengan mulai jam 4 sampai jam 8 malam. Dengan ditemani Mbak Tari tentu saja.
Sebenarnya Banu ingin membantu ibuk , tapi Mbak Tari selalu melarang.
"Tidak usah Banu, biar Mbak saja yang tidak sekolah.. kamu anak laki-laki harus sekolah," kata Mbak Tari. Ya, usia mereka hanya terpaut tiga tahun. Banu sudah duduk di kelas delapan. Berarti seandainya sekolah Mbak Tari sekarang duduk di kelas dua SMA.
Godaan untuk berhenti sekolah dan bekerja membantu ekonomi keluarga demikian kuat. Apalagi setelah Banu diajak Lik No, tetangganya menjadi tukang parkir di sekitar pasar. Banu kian merasakan betapa mudah mencari uang tanpa perlu sekolah tinggi.