Sementara urusan capung kami lupakan dan bergegas kami menuju rumah untuk mengambil sarung.
Dengan berkalung sarung kami menuju tempat wudhu. Gemericik air wudhu terasa begitu menggoda. Betapa segar, pikirku.
"Eits, gak boleh kumur..," kata Bobi ketika aku hampir mengarahkan air ke mulutku. Ups, baru ingat. Ini puasa. Kalau berkumur di atas Dhuhur kata Mbah Hambali guru ngaji kami, makruh hukumnya. Lebih baik tidak dilakukan.
Begitu qomat berbunyi aku segera mengambil tempat di belakang imam. Seperti biasa makmumnya cuma empat orang. Mas Jojo penjual es gandul, dan kami bertiga.
Namun ada yang menarik perhatian kami hari ini. Yang menjadi imam bukan Mbah Hambali seperti biasanya. Kali ini imam kami masih agak muda. Orangnya tinggi, berkopyah bundar putih dan bersorban..
Mungkin Mbah Hambali sedang pergi, pikirku.
"Allahu Akbar.."
Suara imam memberi tanda sholat dimulai. Tapi hei, mana Yayan? Dari tempat wudhu dia tidak juga segera sholat. Membuat ulah apa lagi anak itu?
Aku segera takbiratul ihram dengan berdiri tenang di belakang imam bersama Bobi dan Mas Jojo. Ketika mulai membaca Fatihah dalam hati, tiba-tiba Yayan berdiri di sebelahku. Syukurlah, pikirku.
Ketika rakaat kedua, tiba-tiba ada yang terbang berputar-putar di depanku. Aku mendongak. Astaga.. capung! Pasti punya Yayan, pikirku. Bukankah punya Bobi dan punyaku sudah dilepas?
Capung mulai berputar, hinggap kesana-kemari dengan benang masih terikat di ekornya. Sholatku mulai kacau. Mataku tak henti menatap pergerakan si capung. Dan kurasakan Yayan di sebelahku mulai gelisah.
Saat tahiyat akhir capung melakukan manuver berani dengan hinggap di kopyah imam sholat. Astaghfirullah...! Sholat kami batal sudah.
Serempak aku dan Bobi menoleh ke Yayan sambil menunjuk si capung. Pelan-pelan Yayan meraih benang dan mencoba menariknya. Nakalnya, si capung tak mau menurut sehingga kopyah imam bergerak-gerak.