Tantangan samber hari kedua ini sangat menarik. Dalam tulisan ini saya akan sedikit bercerita tentang kenangan Ramadhan di masa kecil.
Masa kecil yang penuh cerita. Masa dimana kita bisa merayakan saat -saat istimewa dengan cara yang sederhana.
***
Nawaitu shauma ghadin
'an ad'i fardhi syahri
Ramadhani hadzihis sanati
fardholillhi ta'la.Â
Niat ingsun poso
Anutuk o sedino mene
Anekani Wulan Romadhon
Fardhol illahi ta ala...
Lagu pujian itu selalu memberi warna tersendiri di bulan Ramadhan. Saat lagu itu dikumandangkan di langgar, kami anak-anak kecil segera berlari menuju langgar yang letaknya di tengah kampung kami.
Lagu itu selalu dikumandangkan jamaah sesudah sholat qobliyah Isyak. Jadi jika lagu sudah berkumandang, pertanda sholat Isyak yang nantinya dilanjutkan dengan tarawih akan segera dimulai.
Dengan wajah cerah kami berangkat ke langgar. Tentu saja cerah. Perut kenyang habis berbuka puasa. Tidak seperti seharian yang kami lalui dengan lesu karena lapar.
Di langgar biasanya shof depan sudah penuh. Orang dewasa sudah datang lebih dahulu. Kami anak-anak kecil diletakkan di belakang. Apa sebabnya? Jelas, anak-anak kecil tidak bisa anteng. Umek, kata orang Jawa. Sibuk sendiri sehingga mengganggu konsentrasi yang lain.
Bagi kami anak kampung, puasa dan langgar adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Saat ashar kami mengaji di langgar, Maghrib kadang mengambil takjil di langgar, habis buka langsung berangkat lagi ke langgar.
Karenanya tak heran di bulan puasa langgar kami selalu lebih 'hidup' dari pada di bulan yang lain.Â