Kembali kuamati nisan di sekitarku satu persatu.
"Ayo.. ," kata Mas yang sudah menungguku.
"Sek.. tunggu..," kataku pada Mas.Â
 Mataku tiba-tiba berhenti pada nisan tak bernama tidak jauh dari tempatku berdiri. Segera kuhampiri nisan itu. Rupanya tertutup lumut yang lama sudah mengering.
"Kenapa?" tanya Mas heran.
"Jangan-jangan ini, Mas?" kataku sambil membersihkan nisan itu. Mas segera mendekat sambil  membawa potongan batu kecil untuk membantuku. Dan .. tiba tiba sebuah tulisan muncul di situ. Nama bapak!
"Ini kan tulisanku...," kata Mas semangat. Dengan gerakan yang lebih cepat nisan kami bersihkan. Ada nama, lahir dan wafat bapak di situ. Â
Kami saling berpandangan. Rasa haru dan syukur berpadu jadi satu. Melihat tulisan itu tiba-tiba aku ingat saat meninggalnya bapak.Â
Ketika itu Mas membuat tulisan itu sementara aku memegang kaleng cat kecil di sebelahnya. Bagaimana warna hatiku saat itu, sungguh aku masih bisa membayangkannya.Â
Kami kembali berdoa. Kini benar- benar di depan makam bapak. Lama.Â
Ketika matahari semakin naik kamipun meninggalkan TPU. Berbeda dengan tadi, suasana tak begitu sepi. Beberapa pengunjung TPU mulai berdatangan.
Berdua kami menuju pintu keluar.
Mas merangkul pundakku seperti dulu. Hatiku terasa hangat sekaligus terharu. Betapa kebersamaan diantara kami begitu terabaikan selama ini.Â
Mas : panggilan pada kakak laki laki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H