Akan halnya ibuk, beliau menyusul bapak beberapa tahun kemudian. Ya, kondisi kesehatan ibuk terus menurun sejak kepergian bapak.
Kepergian bapak dan ibuk membuat kami makin jarang bertemu. Bahkan lebaran pun kadang kami tak saling berkunjung. Saat lebaran Mas berkumpul dengan keluarga besar istrinya, demikian juga aku.Â
Berkunjung ke makam hanya kami lakukan menjelang puasa dan lebaran. Meski sesudah sholat kami selalu mendoakan  ibuk  dan bapak.Â
Sejak kepergian ibuk kami tak pernah mengunjungi makam bersama-sama. Sungguh, berbagai kesibukan membuat kami menyepelekan kebersamaan di antara kami. Padahal kebersamaan itu dulu selalu mengisi hari kami.Â
Ketika tiba-tiba makam bapak tak ditemukan sekitar empat tahun yang lalu, Â kami mulai saling menyalahkan. Kami memang belum memasang kijing untuk makam bapak.
"Kamu kan yang di Malang? Kok bisa hilang?"
"Kalau jarang diziarahi ya nanti dipakai orang lain..,"kata Mas saat itu.
"Lha Mas kan juga anak bapak? Kenapa Mas jarang ziarah?" balasku tak mau kalah. Sungguh, rasa penyesalan dan amarah membuat aku merasa 'tak terima' saat itu.Â
Sejak saat itu komunikasi di antara kami semakin jarang. Ketika ziarah ke makam ibuk, Mas biasanya tidak berkabar padaku. Demikian juga aku. Tak pernah sekalipun menyinggung masalah makam bapak atau ibuk. Biarlah ziarah menjadi urusan kami sendiri-sendiri.
Namun tahun ini beda. Usia yang semakin bertambah mungkin membuat kami lebih bijak untuk menerima dan memaafkan segala kekurangan kami.Â
Menjelang Ramadhan tahun ini tiba-tiba  Mas datang ke Malang dan mengajakku ziarah ke makam ibuk dan bapak. Dan itu yang membawa kami berdua ke TPU pagi ini.
Makam ibuk lebih mudah dicari karena lokasinya dekat dengan makam keluarga yang lain. Makam bapak yang agak jauh. Dan celakanya 'hilang' pula.