Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbak Mimin dan Gonjang-ganjing Minyak Goreng

22 Maret 2022   10:27 Diperbarui: 22 Maret 2022   10:33 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kosong , minyak tidak ada..," Mas Parjo meletakkan kunci sepedanya di meja kecil dekat dapur. Setengah dilempar. Wajahnya yang kusut tampak begitu gemas. Hari ini ada empat toko didatanginya. Tapi semua mengatakan minyak lagi kosong.

Mbak Mimin menghentikan pekerjaannya. Hari ini ada lima puluh buah tahu isi yang harus diselesaikan untuk acara diba'an habis maghrib, dan itu cukup meresahkannya. Bagaimana tidak? Semua itu butuh minyak goreng, sementara persediaannya lagi habis.

Qiroah di langgar sudah dikumandangkan, tanda waktu sudah berada di kisaran pukul tiga.

Mbak Mimin menghentikan pekerjaannya mengisikan sayuran ke dalam tahu.
"Diin, bantu ibuk sebentar.., " katanya sambil mencuci tangan. Bergegas Dini anak semata wayangnya keluar kamar menggantikan ibuknya.
"Lanjutkan ya Nduk? Jangan ganggu bapakmu, biar ngaso.., " bisiknya.

Secangkir kopi disiapkan di meja tengah, dan Mbak Mimin segera mengambil sepeda motor untuk keluar sebentar.

Sementara itu, Mas Parjo suaminya masih diam sambil menatap asap rokok yang bergulung-gulung di hadapannya. Ruwet, bagai masalah hidupnya akhir-akhir ini.

Sudah tiga tahun ini Mbak Mimin menekuni usaha sebagai penjual gorengan.
Sebuah usaha yang murah meriah dan mlintu kata orang Jawa. Ya, gorengan adalah makanan favorit, jadi yang beli selalu ada.

Bahkan di masa pandemipun usaha gorengan tak tergoyahkan. Apalagi ditambahi dengan jualan aneka bothok dan nasi jagung.

Nasi jagung dengan urap, ikan asin, sayur tewel dan sedikit sambal adalah primadona di warung Mbak Mimin. Dan itu juga mengatrol penjualan gorengan di warungnya. Bukankah makan nasi jagung ditambah mendol atau menjes goreng rasanya makin maknyus?

Berkat usaha gorengan masalah ekonomi keluarga Mbak Mimin sedikit teratasi. Lebih-lebih saat ojek Mas Parjo agak sepi gara-gara anak sekolah masih harus belajar di rumah.

Paling tidak Mbak Mimin tidak tiap hari 'nyadhong' untuk uang belanja. Selagi ada uang hasil jualan, Mbak Mimin akan belanja sendiri.

Kalau dagangan tidak habis, mereka bisa makan dengan gorengan atau sayur tewel sisa kemarin. Tidak masalah.
Sayur tewel yang berkali kali dihangatkan akan terasa lebih lezat karena bumbunya meresap masuk ke dalam tewel.

Satu hal yang membuat Mbak Mimin gembira adalah berkat jualan gorengan pula dia bisa lepas dari jeratan Mbak Marni. Pedagang sembako di kampung yang selalu menjual barangnya dengan harga jauh di atas harga pasar, bahkan kadang satu setengah kali lipat dari harga normal.

Bisa dimaklumi jika mahal, karena membayarnya satu bulan berikutnya. Tapi ya itu lah, hutang memang membuat tuman. Sekali hutang, akan terus tambah dan tambah lagi.

Beruntungnya pada bulan Ramadhan tahun lalu dengan menyisihkan keuntungan berjualan akhirnya Mbak Mimin bisa putus hubungan dengan Mbak Marni.

Permintaan terhadap gorengan saat bulan puasa memang jauh lebih tinggi dari bulan biasa. Yang paling banyak adalah untuk takjil dan konsumsi taddarus.
Karena itulah keuntungan jualan pas bulan puasa sangat menjanjikan.

Namun itu dulu.., tidak untuk puasa kali ini.

Menjelang puasa tahun ini tiba-tiba saja ada gonjang-ganjing minyak goreng . Berawal dari kelangkaan minyak dan akhirnya merembet ke kenaikan harga.

Minyak goreng, Sumber gambar:  Jurnal Jabar
Minyak goreng, Sumber gambar:  Jurnal Jabar
Meresahkan. Betapa tidak? Minyak adalah senjata utama pedagang gorengan, lha kalau minyak mahal, harga gorengan harusnya juga naik. Tapi tahu sendirilah.. Pembeli pasti akan protes kalau harga dinaikkan. Akhirnya sebagai solusi ukuran gorengan disusutkan.

"Waduh, Mbak Mimin... Bakwannya kok  jadi kurus seperti aku," protes seorang pembeli, ibu- ibu bertubuh langsing.

Mbak Mimin tersenyum sabar, " Iya Mbak.., minyaknya lagi sombong.., "
Sontak jawaban Mbak Mimin mengundang tawa pembeli lainnya.

***

Mbak Mimin memasukkan kembali Beat merahnya ke halaman rumah. Laki-laki selalu tidak teliti kalau diminta belanja, desisnya. Ada dua swalayan yang sudah didatanginya, dan minyak goreng ternyata ada, banyak malah. Tapi harganya yang bikin geleng-geleng kepala. Bukan naik, tapi ganti harga.

Ampuun, tidak nutut uangnya,bisik hati Mbak Mimin.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah lima. Waduh, satu jam lagi pasti anak- anak langgar ke rumah untuk mengambil tahu. Dengan pasti Mbak Mimin berjalan menuju rumah bercat hijau yang terletak di ujung gang masuk kampungnya.

"Mbak Marni..., Mbak Marni, " kata Mbak Mimin sambil mengetuk pintu. Suasana masih sepi. Tak berapa lama terdengar langkah langkah kaki dan seraut wajah muncul dari balik pintu.

"Ada apa, Mbak? " tanya si empunya wajah sambil membetulkan mukenahnya. Rupanya ia baru selesai sholat Ashar.

" Mbak, aku jadi ambil wes, minyak kemarin..., " kata Mbak Mimin memelas.
"Lhoo, katanya tidak jadi? Kemahalan? " jawab Mbak Marni agak sinis.

Kemarin Mbak Marni memang menawarkan minyak kemasan dua liter dengan harga di atas 50. Mbak Mimin langsung menolak. Wah, gila- gilaan kalau mengambil untung, pikirnya.
Tapi demi melihat harga minyak di swalayan, dan tahu-tahu isi yang harus segera dieksekusi pikirannya langsung berubah.

"Jadi wes.., daripada susah carinya.., "
"Mana pesanan tahu banyak pula.. " sambung Mbak Mimin.
Mbak Marni dengan sigap mengambil minyak kemasan dua liter dari sebuah dos.

"Satu apa dua? " tanya Mbak Marni.
"Dua, catet ya.., "

Mbak Mimin meraih kresek berisi minyak dan cepat- cepat pulang.

Mbak Marni mengangguk dan segera menutup pintu begitu Mbak Mimin sudah lenyap dari pandangan.

Catet artinya bayar bulan depan. Dan itu maknanya Mbak Mimin mau membayar dengan harga 'berbeda'.

Tak apalah.. Yang penting tahunya hari ini bisa matang. Meski sebenarnya dalam hati Mbak Mimin agak resah juga. Kalau harga minyak seperti ini lalu nasib gorengannya bagaimana? Haruskah ukurannya diperkecil lagi? Atau minyaknya diganti?

Padahal menurut pengalaman menggunakan minyak curah lebih boros karena lebih cepat kotor. Beberapa pelanggan juga mengatakan rasanya agak serik,tidak enak di tenggorokan.

Dengan sigap Mbak Mimin membolak-balik tahu dalam wajan. Mengangkat yang sudah kuning kecoklatan dan memasukkan lagi tahu yang baru. Beberapa butir keringat menetes di dahinya.

Meski lelah Mbak Mimin tersenyum sendiri. Jalan hidup manusia mirip gorengan yang dibolak- balik, pikirnya. Kadang senang, kadang juga susah.

"Buliik, ambil tahu, " suara anak- anak langgar membuyarkan lamunan Mbak Mimin. Dua anak kecil berkopyah dan bersarung sudah siap di depan rumah.

Mbak Mimin menyerahkan dua kresek tahu isi sambil memberi bonus masing- masing anak satu buah tahu.

"Suwun, Bulik.., " kata mereka senang. Mbak Mimin tersenyum sambil menerima uang pembayaran dari anak-anak.

Uang segera dimasukkannya ke dalam dompet, karena itu untuk kulakan besok pagi.

Azan Maghrib berkumandang dari langgar dekat rumah. Sambil selonjor di dipan Mbak Mimin memijit kakinya yang pegal seraya berharap, semoga gonjang-ganjing minyak segera berakhir, sehingga ia bisa tetap berjualan gorengan dengan harga stabil seperti sediakala.

Arti istilah :

Tuman : kebiasaan

Kulakan : belanja

Mlintu : berganti-ganti, selalu ada

Nyadhong: minta uang jatah

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun