Kalau dagangan tidak habis, mereka bisa makan dengan gorengan atau sayur tewel sisa kemarin. Tidak masalah.
Sayur tewel yang berkali kali dihangatkan akan terasa lebih lezat karena bumbunya meresap masuk ke dalam tewel.
Satu hal yang membuat Mbak Mimin gembira adalah berkat jualan gorengan pula dia bisa lepas dari jeratan Mbak Marni. Pedagang sembako di kampung yang selalu menjual barangnya dengan harga jauh di atas harga pasar, bahkan kadang satu setengah kali lipat dari harga normal.
Bisa dimaklumi jika mahal, karena membayarnya satu bulan berikutnya. Tapi ya itu lah, hutang memang membuat tuman. Sekali hutang, akan terus tambah dan tambah lagi.
Beruntungnya pada bulan Ramadhan tahun lalu dengan menyisihkan keuntungan berjualan akhirnya Mbak Mimin bisa putus hubungan dengan Mbak Marni.
Permintaan terhadap gorengan saat bulan puasa memang jauh lebih tinggi dari bulan biasa. Yang paling banyak adalah untuk takjil dan konsumsi taddarus.
Karena itulah keuntungan jualan pas bulan puasa sangat menjanjikan.
Namun itu dulu.., tidak untuk puasa kali ini.
Menjelang puasa tahun ini tiba-tiba saja ada gonjang-ganjing minyak goreng . Berawal dari kelangkaan minyak dan akhirnya merembet ke kenaikan harga.
Meresahkan. Betapa tidak? Minyak adalah senjata utama pedagang gorengan, lha kalau minyak mahal, harga gorengan harusnya juga naik. Tapi tahu sendirilah.. Pembeli pasti akan protes kalau harga dinaikkan. Akhirnya sebagai solusi ukuran gorengan disusutkan.
"Waduh, Mbak Mimin... Bakwannya kok jadi kurus seperti aku," protes seorang pembeli, ibu- ibu bertubuh langsing.
Mbak Mimin tersenyum sabar, " Iya Mbak.., minyaknya lagi sombong.., "
Sontak jawaban Mbak Mimin mengundang tawa pembeli lainnya.
***