KIAM -KOK-SAN (Gunung Berlembah Pedang) merupakan sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun Lun San yang tidak pernah dikunjungi manusia seperti puncak-puncak lain dari Kun Lun-san. Bukan karena pemandangan di Kiam-kok-san kurang indah. Sama sekali bukan. Bahkan tamasya alam yang tampak dari puncak gunung ini amat indahnya.
Batu kapur yang mengeras dan mengkilap menjulang tinggi bagai menara bei menembus awan, tak nampak ujungnya seolah-olah bersambung dengan langit. Pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa puncak batu berawan itu adalah tempat kediaman dewa-dewa penjaga gunung. (Pedang Kayu Harum)
Kalimat di atas adalah pembuka dari serial Pedang Kayu Harum karangan Asmaraman S Kho Ping Hoo. Cerita dengan tokoh utama Cia Keng Hong dengan ilmu andalannya  Thi-khi-i-beng ini terdiri atas 49 jilid.
Kalau kita baca, kalimat pembuka dalam buku-buku karangan Kho Ping Hoo banyak melukiskan keindahan daratan Cina. Â Seakan kita dibawa berkelana ke bukit dan lembahnya. Yang menarik, ternyata Kho Ping Hoo sendiri belum pernah pergi ke sana. Betapa kuatnya imajinasi Kho Ping Hoo. Â Pengetahuan tentang daratan Cina didapatnya dari buku-buku berbahasa Inggris dan Belanda, bukan buku berbahasa Mandarin .Â
Siapakah Kho Ping Hoo?  Dari wikipedia, Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo Lahir di Sragen, 17 Agustus 1926 dan wafat  pada 22 Juli 1994 di usia 67 tahun.
Kho Ping Hoo merupakan penulis cerita silat yang sangat populer di Indonesia. Selama 30 tahun ada sedikitnya 120 judul cerita yang telah ditulis Kho Ping Hoo.
Judul judul itu digabungkan dalam serial-serial. Â Beberapa serial itu di antaranya : Bu Kek Siansu,Pedang Kayu Harum, Â Pendekar Sakti, Â Dewi Sungai Kuning, Gelang Kemala, Â Pedang Naga Kemala dan banyak lagi.
Kho Ping Hoo tidak hanya tertarik pada sejarah Tionghoa, Â namun juga sejarah Indonesia. Â Hal itu dituangkan dalam buku-bukunya yang berjudul Pecut Sakti Bajrakirana, Â Anglingdarma dan Misteri Gunung Merapi.
Saya menyukai cersil Kho Ping Hoo sejak kelas satu SMP. Â Saat itu saya dipinjami teman buku cerita ukurannya kecil tipis, Â bahkan bisa ditekuk dan dimasukkan saku. Dari membaca satu buku akhirnya jadi penasaran ingin tahu lanjutannya, lagi dan lagi. Â Apalagi ilustrasinya menarik. Â Kalau tidak salah ilustratornya adalah Yanes.Â
Begitu tamat satu judul, Â ingin tahu lanjutan ceritanya di judul yang lain. Begitu terus. Â Sampai suatu saat ibuk marah-marah karena saya terus-menerus membaca Kho Ping Hoo. Mungkin ibuk takut tugas sekolah saya terbengkalai. Â
Meski hal itu tak pernah terjadi saya faham maksud ibuk baik. Kalau dibiarkan saya bisa terus kecanduan buku ini. Â Pokoknya begitu membaca cersil, saya tidak bisa berhenti sebelum habis.
Untuk menghindari kemarahan ibuk bahkan saya pernah membaca Kho Ping Hoo dengan bersembunyi di dalam lemari. Â Zaman dulu lemari pakaian mbah ada yang ukurannya besar sekali, Â sehingga badan saya bisa masuk. Â Tapi ya akhirnya ketahuan ibuk. Â Dan hadiahnya dapat cubitan.Â
"Nambeng.., " kata ibuk saat itu.Â
Buku Kho Ping Hoo saya dapatkan dengan cara menyewa di rental. Â Uangnya patungan dengan teman. Karena jumlah uang kami terbatas kadang dari 40 jilid kami menyewa 20 jilid dulu, Â sisanya menunggu uang terkumpul. Â Yang paling menjengkelkan adalah jika 20 jilid yang akan dipinjam sebagai lanjutannya ternyata sudah keluar alias dipinjam orang. Â Duh... Â Harus sabar menunggu satu minggu lagi.
Seiring perjalanan waktu dengan banyaknya hiburan lewat televisi rental buku akhirnya semakin meredup dan tutup. Â Dengar-dengar buku di rental langganan kami sudah habis diborong seseorang untuk dijadikan koleksi pribadi.
Karya Kho Ping Hoo, terutama cersil nya, mempunyai arti penting di hati para pembacanya di Indonesia, terutama para keturunan Tionghoa yang dibesarkan di rezim Soeharto. Seperti diketahui pada masa tersebut kebudayaan Tionghoa mendapat tekanan agak keras di Indonesia.
Dalam suasana tersebut, karya Kho Ping Hoo menjadi salah satu sumber yang langka untuk mempelajari kebudayaan, sejarah, agama bahkan moral Tionghoa, walaupun sebenarnya karya tersebut merupakan fantasi Kho Ping Hoo sendiri.
Karya Kho Ping Hoo  benar-benar membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar lebih banyak tentang budaya Tionghoa di kalangan pembacanya. Saya sedikit-sedikit bisa belajar Bahasa Mandarin dari buku Kho Ping Hoo ini.  Ya, bisa belajar meski cuma sedikiit... .He..he.. salam buku...:)
Sumber bacaan :
Wikipedia
Tribun Jambi
Sonnyogawa.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H