Meski hal itu tak pernah terjadi saya faham maksud ibuk baik. Kalau dibiarkan saya bisa terus kecanduan buku ini. Â Pokoknya begitu membaca cersil, saya tidak bisa berhenti sebelum habis.
Untuk menghindari kemarahan ibuk bahkan saya pernah membaca Kho Ping Hoo dengan bersembunyi di dalam lemari. Â Zaman dulu lemari pakaian mbah ada yang ukurannya besar sekali, Â sehingga badan saya bisa masuk. Â Tapi ya akhirnya ketahuan ibuk. Â Dan hadiahnya dapat cubitan.Â
"Nambeng.., " kata ibuk saat itu.Â
Buku Kho Ping Hoo saya dapatkan dengan cara menyewa di rental. Â Uangnya patungan dengan teman. Karena jumlah uang kami terbatas kadang dari 40 jilid kami menyewa 20 jilid dulu, Â sisanya menunggu uang terkumpul. Â Yang paling menjengkelkan adalah jika 20 jilid yang akan dipinjam sebagai lanjutannya ternyata sudah keluar alias dipinjam orang. Â Duh... Â Harus sabar menunggu satu minggu lagi.
Seiring perjalanan waktu dengan banyaknya hiburan lewat televisi rental buku akhirnya semakin meredup dan tutup. Â Dengar-dengar buku di rental langganan kami sudah habis diborong seseorang untuk dijadikan koleksi pribadi.
Karya Kho Ping Hoo, terutama cersil nya, mempunyai arti penting di hati para pembacanya di Indonesia, terutama para keturunan Tionghoa yang dibesarkan di rezim Soeharto. Seperti diketahui pada masa tersebut kebudayaan Tionghoa mendapat tekanan agak keras di Indonesia.
Dalam suasana tersebut, karya Kho Ping Hoo menjadi salah satu sumber yang langka untuk mempelajari kebudayaan, sejarah, agama bahkan moral Tionghoa, walaupun sebenarnya karya tersebut merupakan fantasi Kho Ping Hoo sendiri.
Karya Kho Ping Hoo  benar-benar membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar lebih banyak tentang budaya Tionghoa di kalangan pembacanya. Saya sedikit-sedikit bisa belajar Bahasa Mandarin dari buku Kho Ping Hoo ini.  Ya, bisa belajar meski cuma sedikiit... .He..he.. salam buku...:)
Sumber bacaan :
Wikipedia
Tribun Jambi