Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kisah Sang Marbot

7 Mei 2021   12:01 Diperbarui: 7 Mei 2021   12:03 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marbot, Sumber gambar: Sharinghappines.org

Lebaran kurang tiga hari.  Meski matahari  belum pas di atas kepala tapi hawa terasa begitu panas.  Azan Dhuhur berkumandang dari langgar. Terasa sekali yang mengumandangkan sudah agak sepuh.  Suaranya merdu, namun ada getar rasa sendu dan sedih di sana.

Sedih?  Ya,  orang sering berandai-andai atas diri pemilik suara itu.  Pak Ali namanya.  Meski usianya berada dikisaran akhir tujuh puluhan tubuhnya yang kecil masih gesit.  Sehari-hari Pak Ali tinggal di bilik kecil di langgar kampung kami.  Orangnya yang pendiam membuat kami sering menganggit macam-macam tentang dirinya.

Kasihan.  Itu kesan yang paling banyak tentang dirinya. Barangkali dia sebatang kara?  Kemana saja anak- anaknya?  Atau dia sebenarnya pernah punya istri atau tidak? Namun pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab.  Kami cukup menelan semua pertanyaan kami sambil mendengarkan azan atau pujian- pujian yang dilantunkannya sebelum shalat lima waktu. 

Bergegas aku mengambil air wudhu.  Seperti biasa suasana langgar saat dhuhur sangat sepi.  Hanya ada lima orang laki-laki.  Itupun yang satu anak kecil.

Pak Ali yang berada di dekat pengimaman menoleh padaku.  Sambil tersenyum dengan isyarat tangan ia memintaku jadi imam.  Aku menolak dan segera mengambil tempat untuk qomat saja. 

Lepas sholat Dhuhur aku tetap duduk memperpanjang doaku.  Bukankah di akhir Ramadhan kita harus banyak i'tikaf ? Demikian juga Pak Ali.  Kami tetap terpekur diam dalam doa kami masing masing.

Tiba tiba terdengar olehku suara dampar beradu.  Rupanya Pak Ali sedang menata dampar yang habis dipakai anak-anak mengaji kemarin.

"Saya bantu,  Pak? " kataku sambil ikut menata dampar dampar itu.

"Monggo..  Anak-anak lupa ini.. Tidak dikembalikan ke tempat semula, " jawab Pak Ali.

"Libur Nak Fahri? "

"Inggih Pak,  sampai habis lebaran, " jawabku sambil terus merapikan Qur an di lemari dekat dampar -dampar itu.

"Wah,  enak itu... Bisa kumpul keluarga ya? "timpal beliau.

"Begitulah Pak,  jarang-jarang bisa pulang agak lama, " jawabku senang.  Aku bekerja di luar kota dan bisa pulang sebulan sekali.  Itupun paling hanya satu hari.  Lebaran adalah saat yang sangat menyenangkan karena bisa berlama-lama berkumpul di rumah. Karenanya meki lewat jalan tikus aku memaksakan diri untuk pulang sebelum lebaran.

"Anak-anak saya tidak bisa pulang lagi tahun ini.., " kata Pak Ali lagi.

Oh,  jadi beliau punya anak? Berarti bukan sebatang kara seperti perkiraanku selama ini.

"Tinggal di mana Pak? " tanyaku ingin tahu.

"Satu di Jakarta,  satu di Malaysia.  Yang Jakarta dua tahun yang lalu pulang,  yang Malaysia bahkan sudah lama tak pulang, " jawab Pak Ali. Matanya menerawang jauh.

"Waduh kangen ya Pak, "

"Ya iyalah Nak,  namanya juga anak.  Sepertinya baru kemarin mereka masih saya gendong,  saya ajak jalan- jalan, lihat ayam, burung..,  eh,  sekarang mlencar semua.., " jawabnya sepi.

"Iya Pak,  semua sibuk bekerja ya.., " kataku hati-hati.

Pak Ali tertawa.  "Ya,  tapi memang kalau kita renungkan,  kita datang ke dunia ini sendiri dan kelak akan sendiri pula, " jawabnya getir. 

"Bapak tidak ingin ikut mereka? " tanyaku lagi.

"Tidak ah,  saya tidak mau merepotkan anak-anak, " katanya singkat.  Aku tidak berani bertanya lagi.  Padahal daripada di sini sendiri kan lebih enak berkumpul dengan anak?  Ada cucu pula?  Tapi entahlah.  Tiap orang punya jalan pikiran masing masing. 

Pak Ali ternyata teman bicara yang menyenangkan.  Kami ngobrol sampai sore.  Dari ceritanya ternyata istrinya sudah meninggal sepuluh tahun silam.  Untuk mengisi hari-harinya sepeninggal anak dan istrinya Pak Ali  dua hari sekali mengajar anak-anak kecil mengaji dan akhirnya diminta menjadi marbot di langgar. Aku tidak kenal anak-anak Pak Ali karena sejak kecil keluargaku pindah-pindah mengikuti tugas bapak.

Sambil ngobrol kami menyiapkan alat-alat terbangan yang sedianya akan dipakai anak-anak untuk takbiran di malam Idul Fitri lusa.

***

Lebaran kurang sehari lagi.

Bau kue yang dipanggang menguar di mana-mana.  Bau yang selalu membuat rindu.  Bau kue berpadu dengan bau cat tembok,  kombinasi yang aneh tapi terasa begitu hangat.  Ya, menjelang Idul Fitri banyak orang di kampung mengecat rumahnya.  Persiapan kalau ada tamu,  katanya.  Padahal siapa yang mau bertamu di masa pandemi seperti ini?

Tidak seperti biasanya siang ini tidak ada suara azan dari Pak Ali.  Demikian juga saat shalat,  terpaksa aku jadi imam dengan makmum empat orang. Tiga anak muda dan satu anak kecil.

Kemana Pak Ali?  Pikirku.  Aku melangkah menuju biliknya.  Tertutup rapat.  Ah,  barangkali beliau masih beristirahat. Kuhalau anak-anak kecil yang tampak tidak sabar untuk segera memainkan terbang supaya Pak Ali tidak terganggu istirahatnya. 

Saat ashar tiba.  Suara azan yang kurindukan tidak juga datang.  Namun sebagai gantinya ada pengumuman lelayu dari pengeras suara di langgar.

Pak Ali!  Jantungku berdegup kencang.  Bergegas aku lari ke langgar yang sudah ramai orang.  Wajah-wajah sedih tampak begitu sibuk. Ada yang menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah juga mengkafani . Dari pembicaraan orang-orang diperkirakan Pak Ali meninggal satu jam yang lalu.  Satu jam?  Seandainya aku tadi mengetuk pintunya mungkin masih ada kesempatan bagi kami untuk bicara.  Atau barangkali aku masih bisa mengantar Pak Ali ke dokter atau RS. Dadaku rasanya sesak.  Aku benar- benar merasa kehilangan.  Hanya dua hari kami kenal, akrab dan tiba-tiba harus berpisah.

Kupandang jasadnya yang terbujur di dipan kecil. Wajahnya begitu damai.  Oh, betapa kematian bisa mengintai manusia kapan saja. Masih terngiang ucapan Pak Ali, "Kalau kita renungkan kita datang ke dunia ini sendiri dan kelak akan sendiri pula.."

Kuambil air wudhu untuk menenangkan hatiku. Namun tak urung aku merasa mataku semakin basah saat itu.

Samar-samar kuingat ayat Al Qur an yang dibaca Pak Ali saat mengimami sholat Maghrib kemarin:

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu hindari itu, maka sesungguhnya kematian itu pasti akan menemui kamu. Kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah, yang maha mengetahui perkara yang ghaib dan yang nyata. Lalu Dia akan memberitahukan segala apa yang telah kamu kerjakan".(QS. Al Jumuah 8)

Arti istilah: 

Dampar : meja panjang kecil untuk mengaji

Lelayu    : berita duka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun