Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jimpitan Beras

13 Maret 2021   15:01 Diperbarui: 17 Maret 2021   21:20 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi lelaki tua. (sumber: pixabay.com/AdinaVoicu)

Malam begitu pekat. Sepotong bulan tidak bisa menembus hitamnya malam karena kehadirannya tertutup awan tebal. Beberapa hari ini hawa begitu gerah. Mungkin karena hujan yang tak kunjung datang meski langit selalu dihiasi oleh mendung menggantung.

Tarno melangkahkan kaki menuju ke rumah- rumah untuk mengambil jimpitan beras yang diletakkan di botol plastik di tiap pintu warga. Hari ini tugasnya mengambil jimpitan sekalian ronda. Sebenarnya Pardi tadi hendak menemani, tapi Tarno tidak mau. "Kamu tunggu di pos saja Di, sewaktu-waktu ada pemeriksaan," tolaknya.

Kresek hitam yang dibawanya semakin lama semakin gemuk berisi beras. Suara azan pertama menunjukkan jam sudah sampai di pukul 3 pagi. Bergegas Tarno menuju rumah Pak Paimin untuk menyetorkan hasil jimpitan hari ini. 

 "Kok sedikit, No? " tanya Pak Paimin heran.

"Inggih, Pak, banyak yang kosong," jawab Tarno singkat lalu segera berpamitan untuk ke langgar.

Kampung Jati mulyo agak tersisih lokasinya dari kampung yang lain. Mungkin karena akses jalan ke sana agak sulit. Entah mengapa jalan aspal yang dijanjikan belum juga terealisasi.

Dari dulu hingga sekarang jalannya masih juga makadam. Itupun hasil kerjabakti para warga sendiri mengingat dulu saat hujan jalan itu sangat becek dan berlubang -lubang.

Sekali lagi ada kabar bahwa bantuan pengaspalan jalan akan segera turun. Warga sangat gembira, meski sedikit ada keraguan, jangan-jangan seperti yang lalu lalu. Cuma kabar, terus hilang.

Namun kali ini beda. Pak kepala kampung sangat bersemangat dan berkali-kali mengatakan bahwa pembangunan segera dilaksanakan. Rapat berkali-kali diadakan. 

Dan hasil rapat terakhir diputuskan akan dibangun gapura pula di depan gang, sehingga akses jalan yang bagus masih ditambah pula dengan gapura yang cantik. 

 Uangnya dari mana? Dari kas kampung, dibantu dengan jimpitan beras. Jimpitan beras adalah semacam tabungan beras yang dikumpulkan sedikit demi sedikit lalu dijual, dan nanti hasil penjualannya ditambahkan ke kas.

Sebenarnya ada beberapa warga yang tidak setuju. Jimpitan? Untuk makan saja di zaman ini kadang susah. Beberapa kali keluarga Tarno dan mungkin ada juga yang lain terpaksa makan pohong. 

Tapi begitulah. Di kampung kita sering tidak berani beda pendapat dengan yang lain. Apalagi dengan kepala kampung.

**

Seminggu berselang. Hari ini Rabu malam Kamis adalah jadwal Tarno dan Pardi untuk meronda.

Malam ini udara begitu dingin. Hujan yang turun sejak sore masih meninggalkan bekasnya berupa gerimis yang terus menerus turun. Tarno merapatkan sarung yang melilit di lehernya. Tangannya menjinjing sebuah kresek hitam berisi beras.

Tarno mempercepat langkahnya. Ia tak menyadari ada bayangan orang mengikutinya. Dirapatkannya caping untuk melindungi kepalanya dari tetesan air hujan. Di depan rumah Pak Paimin ternyata Tarno mengambil jalan ke kiri. Yang mengikuti Tarno kaget. Harusnya Tarno langsung ke rumah Pak Paimin.. tapi kenapa menuju jalan lain?

Di sebuah rumah yang agak terpencil Tarno mengetuk pintu, lalu meletakkan kresek lain dari dalam kresek yang dibawanya. 

Sosok tubuh ringkih keluar. "Matur nuwun nggih Mas.., "

Tarno mengangguk. "sami-sami, "

Cepat-cepat Tarno membalikkan badannya. Ia harus segera menyetor beras ke rumah Pak Paimin sekarang. Di belokan jalan tiba-tiba Pardi sudah berdiri menunggunya. Pardi menatap Tarno lekat-lekat

"Kamu tahu apa yang kamu lakukan, No?" tanya Pardi menahan marah. Ia diminta Pak Paimin memata-matai Tarno malam ini. Sebenarnya ia tidak mau. Tugas yang sulit, mengawasi teman sendiri. Tapi Pak Paimin sudah menjanjikan imbalan yang lumayan besar padanya. Cukup untuk membeli kebutuhan beras selama satu bulan.

Tarno ganti menatap Pardi.

"Di, Mak Ijah habis ditinggal suaminya..Anak tak punya, terus dia makan apa? Dia sering minta beras atau pohong ke rumahku, sementara kamu tahu kondisiku bagaimana.. " lanjut Tarno.

"Pernah tidak kepala kampung memikirkan ini? Yang dipikir cuma gapura, gapura dan gapura. Biar kampung kita yang memang nyempil ini kelihatan bagus dari luar dan dia dapat nama.., percuma.. Gapurane apik.. Wong e luwe.., " bisik Tarno geram.

Pardi terhenyak mendengar jawaban Tarno Ia baru sadar selama ini tiap rapat yang dibahas adalah gapura saja. Kepala kampung sama sekali tak pernah peduli bagaimana mengatasi masalah kemiskinan masyarakat sekitarnya. 

Azan subuh berkumandang. Bergegas keduanya menuju rumah Pak Paimin. Berasnya pasti sudah ditunggu-tunggu. 

Tarno melangkah mantap sementara di sebelahnya Pardi begitu galau. Ia bingung harus memberi jawaban apa pada Pak Paimin. Ia ingin ikut berbohong, tapi bayangan wajah istri dan anak-anaknya yang dua hari ini cuma makan pohong menari-nari dalam benaknya.

Arti istilah:
Gapurane apik.. Wong e luwe : gapuranya bagus, orangnya kelaparan
Nyempil: terpencil

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun