Sebenarnya ada beberapa warga yang tidak setuju. Jimpitan? Untuk makan saja di zaman ini kadang susah. Beberapa kali keluarga Tarno dan mungkin ada juga yang lain terpaksa makan pohong.Â
Tapi begitulah. Di kampung kita sering tidak berani beda pendapat dengan yang lain. Apalagi dengan kepala kampung.
**
Seminggu berselang. Hari ini Rabu malam Kamis adalah jadwal Tarno dan Pardi untuk meronda.
Malam ini udara begitu dingin. Hujan yang turun sejak sore masih meninggalkan bekasnya berupa gerimis yang terus menerus turun. Tarno merapatkan sarung yang melilit di lehernya. Tangannya menjinjing sebuah kresek hitam berisi beras.
Tarno mempercepat langkahnya. Ia tak menyadari ada bayangan orang mengikutinya. Dirapatkannya caping untuk melindungi kepalanya dari tetesan air hujan. Di depan rumah Pak Paimin ternyata Tarno mengambil jalan ke kiri. Yang mengikuti Tarno kaget. Harusnya Tarno langsung ke rumah Pak Paimin.. tapi kenapa menuju jalan lain?
Di sebuah rumah yang agak terpencil Tarno mengetuk pintu, lalu meletakkan kresek lain dari dalam kresek yang dibawanya.Â
Sosok tubuh ringkih keluar. "Matur nuwun nggih Mas.., "
Tarno mengangguk. "sami-sami, "
Cepat-cepat Tarno membalikkan badannya. Ia harus segera menyetor beras ke rumah Pak Paimin sekarang. Di belokan jalan tiba-tiba Pardi sudah berdiri menunggunya. Pardi menatap Tarno lekat-lekat
"Kamu tahu apa yang kamu lakukan, No?" tanya Pardi menahan marah. Ia diminta Pak Paimin memata-matai Tarno malam ini. Sebenarnya ia tidak mau. Tugas yang sulit, mengawasi teman sendiri. Tapi Pak Paimin sudah menjanjikan imbalan yang lumayan besar padanya. Cukup untuk membeli kebutuhan beras selama satu bulan.