Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wangsit

1 Februari 2021   11:49 Diperbarui: 1 Februari 2021   12:10 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Wangsit : Ilham, petunjuk gaib

 Hamid menghisap rokoknya dalam-dalam lalu dihembuskan asapnya kuat-kuat,  seolah ingin membuang segala kesumpekan dalam hatinya.  Apek asap tembakau  mengepul memenuhi ruangan.  Mata Hamid menerawang.  Tak berapa  lama Surti membawa segelas kopi pahit untuk dihidangkan.  Surti melirik sekilas.   Dalam kondisi seperti itu ia tak berani mengganggu suaminya.  Gelas diletakkan,  langsung ditinggal masuk kamar menyusui Buyung yang agak rewel karena demam. 

Kemarin mereka terlibat pertengkaran hebat.  Surti sungguh jengkel.  Bu Made berkali kali menagih hutangnya.  Pokok hutang dan anaknya sudah berlipat lipat.  Bahkan bukan sekedar beranak,  mungkin sekarang sudah bercucu atau bercicit.  Sementara Surti ditagih dari mana-mana,  Hamid hanya duduk di poskamling bersama teman-temannya meramal togel.  Surti sungguh sebal melihat kertas berisi hitungan hitungan rumit yang dia sendiri tidak tahu maknanya. 

"Mbok usaha gitu lho...  Lihat,  anak sakit,  hutang banyak.., " kata Surti setengah menangis.

Hamid yang biasanya diam tiba- tiba tampak kalap.

"Lha kamu pikir ini bukan usaha? Aku berbuat seperti ini cuma ingin membahagiakan kamu sama Buyung! " katanya berang.

Surti menangis semakin keras.  "Membahagiakan apa?  Cari nomor sip dari dulu juga tidak dapat dapat..., malah uang belanja yang katut! "

"Diamlah! Nanti kalau aku dapat nomor yang sip. Kukembalikan uangmu!  Lima kali lipat! "

"Mbuh..!! " Surti langsung menggendong Buyung yang menangis keras karena keributan orang tuanya.  Dengan air mata yang meleleh semakin deras dibantingnya pintu kamar lalu tidur sambil menyusui Buyung.

***

Poskamling sudah mulai sepi, Hamid masih duduk di situ dengan berselimut sarung.  Seseorang mendekatinya dan Hamid memandangnya lega.  Jam menunjukkan pukul 23.05.

"Bagaimana?  Jadi, So? " tanya Hamid.

"Ya jadi,  sejam lagi ," kata Wagiso singkat.  Hamid dan Wagiso bersahabat akrab.  Hamid sering menceritakan masalahnya pada Wagiso dan Wagiso selalu berusaha mencarikan pemecahannya.  Tapi di masalah hutang ini Wagiso agak sulit mencarikan jalan keluar karena kondisi perekonomiannya kurang lebih sama. 

Atas saran dari Meheng, orang 'pinter' di kampung mereka,  keduanya disuruh tirakat barang semalam di rumah kosong yang terletak di pojok kampung. Rumah itu terkenal sebagai tempat tirakat bagi penjudi togel yang ingin mendapat wangsit.  Mula mula Hamid tidak percaya,  tapi Wagiso pandai meyakinkannya. 

Kata Wagiso,  beberapa orang yang tirakat di situ akhirnya mendapat wangsit  nomor yang sip, dan sesudah dipasang saat membeli togel , nomor itu tembus.  Uang langsung melimpah dan masalah hutang  kelar semua.

 Hmmm sebuah cerita yang menarik.  Lama-lama Hamid ingin mencoba.  Siapa tahu ini adalah jalan keluar dari masalahnya selama ini.  Sudah terbayang dalam benaknya Surti yang tersenyum karena tidak punya hutang ,dan Buyung yang tidak sakit sakitan lagi karena makannya selalu terjamin.

Jika masalahnya beres,  Hamid berjanji tidak akan main togel lagi... Ini yang terakhir,  pikirnya.  Akhirnya Hamid bertekad bulat malam ini ia akan tirakat di rumah kosong itu. Takut?  Ya pasti ada perasaan itu. Tapi memperjuangkan sesuatu yang besar tantangannya juga pasti besar, bisik hatinya.  Lagipula kan ada Wagiso yang setia menemaninya.

Saat berangkat tadi Hamid sudah siap dengan dua jaket tebal,  sedangkan Wagiso membawa tikar kecil untuk mereka berdua. Akhir-akhir ini hawanya dingin,  kadang disertai hujan pula. 

Pas tengah malam mereka berdua mengendap-endap masuk rumah kosong itu.  Bau rumah yang pengap,  dan suasana yang gelap, sungguh membuat bulu kuduk mereka meremang. Ditimpa cahaya purnama aura rumah itu terasa begitu mistis.  Keduanya segera mengambil tempat di pojok ruangan,  tikar digelar,  kemudian duduk.  Wagiso dan Hamid lalu mengeluarkan kertas kecil berisi mantra-mantra yang didapat dari Meheng.  Berdua mereka komat kamit dengan mata setengah terpejam. 

Beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar suara guruh diikuti ledakan petir, hujanpun turun begitu deras bagaikan dicurahkan dari langit. Hawa dingin langsung terasa menusuk.  Hamid mulai gemetar,  demikian pula Wagiso.  Keduanya saling melirik.  Gelisah,  wangsit yang ditunggu tiada kunjung datang. 

Menjelang subuh hujan semakin menggila.  Guruh dan petir bersahutan.  Tiba tiba terdengar suara keras diiringi terangnya kilat.   Sontak Hamid dan Wagiso berpegangan.  Dan... "Kraaak...  Bum....!"  

Hari yang gelap terasa semakin gelap . Hamid dan Wagiso tidak ingat apa-apa lagi. 

***

Hamid membuka matanya perlahan.  Matanya mengerjap.  Sinar matahari yang menerobos jendela kaca di sebelahnya membuatnya silau. Badannya terasa sakit semua.  Kaki dan tangannya diperban.  Dia memandang ke arah kanan.  Tampak Wagiso baru sadar dan terbaring seperti dirinya.  Hanya saja kondisi Wagiso lebih parah.  Sebagian kepalanya juga diperban.

Rupanya hujan semalam begitu deras hingga  rumah tua itu akhirnya roboh . Kayu penyangganya tidak mampu lagi menahan gempuran hujan.  Masih untung yang roboh bagian belakang rumah saja.  Saat itu Hamid dan Wagiso berada di ruang depan.  Di balik reruntuhan, tubuh keduanya diangkat orang-orang kampung dan dibawa ke rumah sakit terdekat.

Suster memberi kode pada orang di luar ruangan.  Tak berapa lama  istri keduanya masuk dengan wajah sembab.

"Oalah Mas...  Untung sampeyan selamat..  Kalau tidak,  bagaimana aku dengan Buyung? " tangis Surti.  "Lagipula kenapa harus berteduh di dalam rumah itu? Malam-malam pula? "  Lanjut Surti sesenggukan.

Tanpa dikomando Hamid berpandangan dengan Wagiso,  mereka meringis merasakan kepala mereka yang tiba-tiba terasa pusing sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun