Beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar suara guruh diikuti ledakan petir, hujanpun turun begitu deras bagaikan dicurahkan dari langit. Hawa dingin langsung terasa menusuk. Â Hamid mulai gemetar, Â demikian pula Wagiso. Â Keduanya saling melirik. Â Gelisah, Â wangsit yang ditunggu tiada kunjung datang.Â
Menjelang subuh hujan semakin menggila. Â Guruh dan petir bersahutan. Â Tiba tiba terdengar suara keras diiringi terangnya kilat. Â Sontak Hamid dan Wagiso berpegangan. Â Dan... "Kraaak... Â Bum....!" Â
Hari yang gelap terasa semakin gelap . Hamid dan Wagiso tidak ingat apa-apa lagi.Â
***
Hamid membuka matanya perlahan. Â Matanya mengerjap. Â Sinar matahari yang menerobos jendela kaca di sebelahnya membuatnya silau. Badannya terasa sakit semua. Â Kaki dan tangannya diperban. Â Dia memandang ke arah kanan. Â Tampak Wagiso baru sadar dan terbaring seperti dirinya. Â Hanya saja kondisi Wagiso lebih parah. Â Sebagian kepalanya juga diperban.
Rupanya hujan semalam begitu deras hingga  rumah tua itu akhirnya roboh . Kayu penyangganya tidak mampu lagi menahan gempuran hujan.  Masih untung yang roboh bagian belakang rumah saja.  Saat itu Hamid dan Wagiso berada di ruang depan.  Di balik reruntuhan, tubuh keduanya diangkat orang-orang kampung dan dibawa ke rumah sakit terdekat.
Suster memberi kode pada orang di luar ruangan.  Tak berapa lama  istri keduanya masuk dengan wajah sembab.
"Oalah Mas... Â Untung sampeyan selamat.. Â Kalau tidak, Â bagaimana aku dengan Buyung? " tangis Surti. Â "Lagipula kenapa harus berteduh di dalam rumah itu? Malam-malam pula? " Â Lanjut Surti sesenggukan.
Tanpa dikomando Hamid berpandangan dengan Wagiso, Â mereka meringis merasakan kepala mereka yang tiba-tiba terasa pusing sekali.