Pedhot = putus
Nyangsang = tersangkut
"Pedhot... Pedhot... !" teriakan itu cukup membuyarkan konsentrasi kami. Â Bergegas kami berlari mengikuti arah layang-layang yang bergerak limbung karena benangnya putus. Â Layang-layang yang limbung terbawa angin dengan santainya meliuk-liuk mencari tempat turun sementara kami di bawah saling berebut untuk meraih layang -layang tersebut. Â Hebatnya kami, Â lokasi jatuh selalu bisa diperkirakan dengan pas.Â
Aku membawa galah yang tingginya sedikit melebihi tinggiku. Â Ini adalah senjata sakti untuk mengejar layang-layang. Â Mengapa? Â Ada kode etik di antara kami, Â siapa yang pertama menyentuh layang layang atau benangnya dengan atau tanpa alat, Â maka dia yang berhak memiliki. Â Dengan galah itu aku sering meraih layang-layang yang tinggi, Â yang tidak bisa diraih teman-teman.Â
Layang-layang merah itu semakin mendekat. Â Aku langsung melompat. Â Kuraih benangnya dengan tongkatku.
"Kena! " teriakku.
"Yah..! " Â teriakan-teriakan kecewa keluar dari mulut beberapa anak. Â Tapi itu biasa. Â Semua segera meninggalkan aku yang menggulung benang lalu meletakkan layang-layang di punggungku.
Di punggungku sekarang ada tiga layang -layang. Â Tahukah kalian? Â Banyak layang-layang itu semacam pangkat dan kebanggaan bagi kami sesama pemburu layang-layang. Â Semakin banyak layang-layang di punggung semakin disegani dia di antara teman-teman. Â Dan itulah aku.
Saat berburu layang-layang beberapa anak terutama yang kurang lincah akan segera mengundurkan diri jika ada aku. Â Ya iyalah.. Â Mereka pasti kalah beradu kecepatan lari atau melompat denganku.
Sebenarnya beberapa kali aku diingatkan ibuk untuk tidak mengejar layang-layang. Â "Tidak usah le.. Beli sana di warung Pak Nur, Â seribu dapat dua, " kata ibuk waktu itu sambil menyerahkan uang seribu rupiah. Aku tahu ibuk sangat sayang padaku, anak satu-satunya. Â Tentunya beliau sangat takut jika terjadi apa-apa denganku.
Uang kuterima tapi layang-layang putus tetap kukejar. Â Entah mengapa melihat layang layang yang putus meliuk-liuk seperti itu membuat naluriku untuk berburu tak bisa kutahan lagi. Â Akhirnya uang dari ibuk kupakai untuk membeli es karena kehausan habis mengejar layang-layang.Â
Ibuk rasanya sudah bingung bagaimana cara mengingatkan aku. Semasa bapak masih ada, Â aku paling takut pada bapak, jadi hanya bapak yang bisa mengendalikan aku. Tapi kini bapak sudah tiada dan Ibuku sangat sabar, Â tidak ada yang membuatku takut atau segan di rumah.
Aturan ibuk selalu kulanggar. Ibuk tahu  aku masih terus mengejar layan- layang karena tiap pulang sekolah aku pasti menghilang dengan senjata saktiku,  dan baru pulang nanti menjelang maghrib dengan wajah merah kehitaman karena terkena matahari. Biasanya ibuk cuma menggelengkan kepala melihat aku menata layang -layang hasil buruanku di gudang.
Siang itu seperti biasa kami para pemburu layang-layang ngobrol di tepi lapangan sambil menunggu sewaktu-waktu ada layang-layang  yang putus.Â
"Pedhot..! " teriakan singkat dari Heru langsung membuat kami semburat. Â Layang-layang limbung ke arah timur. Â Kami terus mengejar. Â Kadang-kadang suara gemuruh langkah kami membuat tetangga marah. Â Tapi kami tak peduli.
Sialnya layang-layang itu tersangkut di pohon yang bersebelahan dengan kamar mandi umum. Â Di kampungku ada satu kamar mandi umum yang sering digunakan oleh warga untuk mencuci baju di siang hari. Â Hanya untuk mencuci saja, tidak untuk mandi karena tidak beratap.Â
"Waah.. Â Nyangsang...nyangsang.. .! " terdengar teriakan-teriakan kecewa. Â Semua menghentikan perburuannya. Tapi aku tidak .
 Pelan-pelan aku menaiki pohon belimbing itu ,galah kuletakkan dan aku terus mendekati layang-layang biru yang bergerak-gerak genit tertiup angin.
 "Wan..  Jangan nekat..  !" teriakan anak-anak tak kuhiraukan. Aku terus naik semakin tinggi.
 Sialnya ketika menginjak sebuah dahan kakiku terpeleset,  dan dahan yang kuinjak langsung patah.
 "Kraakk!!"...Dan..... "Byurr! " tanpa ampun aku jatuh masuk ke dalam bak yang ada di kamar mandi umum.
 "Astaghfirullah..! " sebuah teriakan yang sangat kukenal berbunyi keras di telingaku. Rupanya ibukku sedang mencuci baju!
 "Iwaaan,  tobaaat aku, " dengan gemas ibuk mengambil gayung dan mengguyurku berkal- kali.  Hancur sudah layang-layang kebanggaan di punggungku.  Aku megap-megap karena guyuran air yang bertubi-tubi.  Teman-teman yang melihat kejadian itu tertawa terpingkal-pingkal. Saat itu tiba-tiba aku sangat takut pada ibuk karena aku tak pernah melihat beliau semarah itu.Â
 Sampai di rumah ibuk hanya diam saja tidak menghiraukan aku.  Dalam dua hari beliau tidak menegurku.  Ibuk hanya menyiapkan makan,  bersih-bersih lalu masuk kamar. Aku rindu sekali diajak bicara, bahkan dimarahi Ibuk.  Sesekali aku melihat beliau menitikkan air mata saat berdoa sehabis sholat.
 Ya Tuhan,  aku benar-benar menyesal membuat ibukku merasa demikian sedih.
 Sejak itu aku tak pernah lagi berburu layang-layang. Bayangan ibuk yang menangis dengan masih mengenakan mukena selalu hadir dalam benakku. Sungguh,  aku kasihan sekali pada ibukku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H