Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sungguh, Aku Kasihan Sekali pada Ibukku

22 Januari 2021   12:59 Diperbarui: 22 Januari 2021   13:00 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pedhot = putus

Nyangsang = tersangkut

"Pedhot... Pedhot... !" teriakan itu cukup membuyarkan konsentrasi kami.  Bergegas kami berlari mengikuti arah layang-layang yang bergerak limbung karena benangnya putus.  Layang-layang yang limbung terbawa angin dengan santainya meliuk-liuk mencari tempat turun sementara kami di bawah saling berebut untuk meraih layang -layang tersebut.  Hebatnya kami,  lokasi jatuh selalu bisa diperkirakan dengan pas. 

Aku membawa galah yang tingginya sedikit melebihi tinggiku.  Ini adalah senjata sakti untuk mengejar layang-layang.  Mengapa?  Ada kode etik di antara kami,  siapa yang pertama menyentuh layang layang atau benangnya dengan atau tanpa alat,  maka dia yang berhak memiliki.  Dengan galah itu aku sering meraih layang-layang yang tinggi,  yang tidak bisa diraih teman-teman. 

Layang-layang merah itu semakin mendekat.  Aku langsung melompat.  Kuraih benangnya dengan tongkatku.

"Kena! " teriakku.

"Yah..! "  teriakan-teriakan kecewa keluar dari mulut beberapa anak.  Tapi itu biasa.  Semua segera meninggalkan aku yang menggulung benang lalu meletakkan layang-layang di punggungku.

Di punggungku sekarang ada tiga layang -layang.  Tahukah kalian?  Banyak layang-layang itu semacam pangkat dan kebanggaan bagi kami sesama pemburu layang-layang.  Semakin banyak layang-layang di punggung semakin disegani dia di antara teman-teman.  Dan itulah aku.

Saat berburu layang-layang beberapa anak terutama yang kurang lincah akan segera mengundurkan diri jika ada aku.  Ya iyalah..  Mereka pasti kalah beradu kecepatan lari atau melompat denganku.

Sebenarnya beberapa kali aku diingatkan ibuk untuk tidak mengejar layang-layang.  "Tidak usah le.. Beli sana di warung Pak Nur,  seribu dapat dua, " kata ibuk waktu itu sambil menyerahkan uang seribu rupiah. Aku tahu ibuk sangat sayang padaku, anak satu-satunya.  Tentunya beliau sangat takut jika terjadi apa-apa denganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun