Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiba-tiba Dia Tampak Berbeda di Mataku

20 Januari 2021   11:25 Diperbarui: 20 Januari 2021   12:06 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: jadiBerita.com

Namanya Adib. Perawakannya tinggi agak kurus. Barangkali kalau dimasukkan standar ideal Body Mass Index dia termasuk kurang ideal. Di antara teman teman sekelas Adib anak yang paling kurus dan tinggi. Jadi kalau ada pelajaran yang memerlukan LCD pasti dia yang diminta untuk menyiapkan. Asal tahu saja, kadang ada teman yang iseng menyembunyikan remote LCD, untuk menghidupkan maka guru minta tolong Adib untuk naik meja dan langsung bisa menjangkau tombol LCD. 

Adib anaknya pendiam dan cuek sekali.  Kadang aku berpikir dia datang atau tidak datang tidak ada pengaruhnya bagi kelas.  Selalu duduk di pojok belakang dan diam mengikuti pembelajaran.  Tidak pernah bertanya ataupun berpendapat.  Kadang aku curiga,  jangan-jangan dia tidak pernah mencatat juga.  Karena buku yang sering dibawanya kulihat itu itu saja.  Kumal pula.

Diamnya Adib membuat kami sering mengolok- oloknya. Entah karena seragamnya yang sering kedodoran atau karena bicaranya yang agak gagap. Cara bicara inilah yang sering menjadi bahan bulan- bulanan kami untuk mengejeknya atau memberi julukan macam-macam.  Untung wali kelas segera mengingatkan kami sehingga ejekan itu tidak berkepanjangan. 

Pernah suatu hari kami beramai ramai menyembunyikan sepatu Adib saat menjelang pelajaran olah raga. Bisa ditebak Adib bingung sekali mencarinya. Kami kompak untuk pura-pura tidak tahu sebelum akhirnya guru olah raga memarahi kami semua karena terlambat datang ke lapangan. Akhirnya Adib mengikuti pelajaran olah raga tanpa sepatu, dan itu cukup menjadi bahan tertawaan kami sehari itu. Sesudah olah raga tiba-tiba sepatu Adib ditemukan di pojok kamar mandi putera. Siapa yang menyembunyikannya? Itu adalah rahasia kelas kami.

Satu hal yang mengherankan  adalah Adib tidak pernah sedikitpun menampakkan perasaan sakit hati,  jengkel atau marah pada kami.  Wajahnya datar-datar saja.  Paling hanya senyum.  Atau mungkin senyum itu senjata karena dia tidak bisa membalas semua ejekan kami dengan kata-kata. Dia gagap bukan?

Bekerja dalam satu kelompok dengan Adib rasanya seperti sebuah mimpi buruk.  Bayangkan,  ketika kami mendapat tugas untuk membuat peta konsep biologi,  dari dua kali pertemuan sekalipun ia tak pernah datang.  Mau di whatsapp tak ada nomornya. (Baru terakhir ini aku tahu dia tidak punya hp). 

Ketika aku marah-marah pagi harinya Adib cuma minta maaf sambil terbata-bata

"Ma.. Maaf Lin,  ak.. aku tidak bisa datang kemarin, "

Segera kutinggalkan Adib dengan perasaan mendongkol.  Enak saja,  pikirku.  Tidak ikut bekerja,  tapi ikut dapat nilai.  Namun kedongkolan itu agak mereda ketika peta konsep kami dikembalikan karena ada kekurangan di sana-sini dan Adib yang membenahi semuanya .

Sore itu kakak sepupuku yang kuliah di Bandung datang ke rumah.   Kak Erma adalah idolaku..  Pintar,  cantik lagi.  Sekarang kuliah di sebuah perguruan tinggi terkenal di sana.  Keren habis pokoknya. Bersama Kak Ema obrolan yang lama seperti tak terasa.

"Cari nasi goreng yuk..? " ajak kak Erma.  Jam sudah menunjukkan pukul 08.20. Habis ngobrol agak lama membuat perut kami keroncongan .

"Ayuk.., " kataku bersemangat.

Kami segera berboncengan mencari warung nasi goreng yang masih buka

"Nasi goreng di sini enak,  Lin, " kata Kak Erma sambil menghentikan sepeda di sebuah warung pinggir Jalan Gede.  Pengunjungnya sudah mulai sepi,  kelihatannya sudah hampir habis.

"Nasi goreng dua! " kata kak Erma disambut dengan senyum penjualnya. Sementara kami mencari tempat duduk, dengan cekatan penjual nasi goreng mulai meracik bahan-bahan,  dan taraaa.. tak berapa lama nasi goreng lezat dengan bau yang sangat menggoda sudah tersaji di depan kami. 

"Ssilakan,  Mbak, " kata si penjual.

Deg...,  aku kenal sekali suara itu...  Langsung aku menoleh. 

"Adib?? " tanyaku tak percaya.

Adib sedikit terkejut namun segera  tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. 

"Sselamat makan..," katanya ramah.

Aku cuma bengong . Adib sungguh berbeda kali ini.  Ia segera berlalu untuk melayani pembeli yang lain.

"Teman ya Lin? "Tanya Kak Erma

"Iya,  Kak,  teman sekelas, " kataku sambil mulai makan. Kak Erma mengacungkan jempolnya.

"Hebat dia,  tiap malam jualan di sini, dulu ayahnya,  tapi semenjak ayahnya meninggal dia yang jualan sama ibunya, adik-adiknya masih kecil, "

"Dari mana kakak tahu? " tanyaku penasaran.

"Aku dulu hampir tiap malam ke sini,  sepulang bimbel,  bersama teman teman SMA, lagipula kakaknya si Adib kan temanku" kata Kak Erma sambil kembali asyik dengan nasi gorengnya.

Aku benar-benar kaget.  Kak Erma kenal dengan Adib pula.  Tanpa kuminta akhirnya meluncur kisah keluarga Adib dari Kak Erma.  Untung saat itu pengunjung yang makan di situ cuma kami berdua.

Adib adalah 4 bersaudara dengan dia anak kedua.  Kakaknya berjarak 4 tahun di atasnya juga laki laki sedangkan kedua adiknya perempuan.  Pagi hari ayah Adib bekerja sebagai  buruh serabutan sedangkan saat sore hingga malam berjualan nasi goreng dan bakmi di perempatan jalan Gede.  Masakannya enak,  pelayanannya ramah sehingga banyak pelanggannya.

 Setiap malam secara bergantian Adib dan kakaknya menemani ayahnya berjualan.  Hingga akhirnya pada suatu hari terjadi peristiwa yang tak terduga.  Saat menjadi kuli bangunan di pemugaran pasar tiba-tiba ayah Adib pingsan.  Para tukang bangunan segera membawa ke RS. Namun sayang sekali ternyata Allah lebih sayang padanya.  Siang harinya ayah Adib menghembuskan nafas terakhir diiringi tangis sedih isteri dan keempat anaknya.  Saat itu Adib masih kelas sembilan sementara kakaknya baru kelas dua belas,sementara dua orang adiknya masih SD. 

Singkat cerita akhirnya kakak Adib menggantikan ayahnya berjualan di malam hari.  Adib tidak diperbolehkan menemani karena akan menghadapi ujian akhir SMP.  Setamat SMP tiba-tiba kakak Adib diterima bekerja di sebuah perusahaan di luar Jawa.  Betapa bahagianya keluarga ini.  Akhirnya kakak Adib ke luar Jawa dan Adib yang menggantikan kakanya berjualan bersama ibunya.  Biasanya sekitar pukul sembilan atau sepuluh malam mereka baru pulang.

Aku terdiam. Ternyata berat sekali beban yang ditanggung Adib.  Mungkin ini penyebabnya sehingg ia selalu diam dan terkesan mengantuk saat di sekolah.  Aku jadi ingat ketika dia kumarahi habis-habisan karena dua kali tidak ikut kerja kelompok biologi. Tiba tiba aku merasa sangat berdosa sekali  betapa aku sering memandang rendah pada Adib selama ini.

Malam semakin larut, sepiring nasi goreng dan segelas teh panas telah cukup mengenyangkan perut kami. Bergegas aku dan Kak Erma membayar pesanan. Untuk pertama kalinya aku memberikan senyum yang tulus pada Adib. Senyum yang penuh rasa hormat dan bangga pada temanku ini.

"Sssering-sering mampir ya Lin," kata Adib ramah.

"Pasti,..Masakanmu enak!" jawabku .  Adib tertawa senang.

Jalanan semakin sepi. Kami berboncengan pulang. Semilir angin dingin seperti membukakan hati dan pikiranku dari kepicikan dan kekerdilanku selama ini.

 Temanku Adib ,  tiba-tiba dia tampak berbeda di mataku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun