Â
Bu Yuli tumbas jajan..? Â Suara itu selalu menyapa setiap pagi sambil mengetuk pintu pagar rumah . Â Pemiliknya adalah seorang ibu, saya panggil dengan panggilan akrab bu Jajan. Alasannya simpel, karena tiap hari ibu ini berkeliling untuk berjualan jajan. Â Bu Jajan sudah agak sepuh tapi masih mampu membawa dua keranjang plastik berisi aneka macam kue. Â Pastel, Â othok- othok (roti goreng isi kacang hijau), Â pisang goreng, Â martabak dan lumpia.Â
Begitu mendengar suara itu, biasanya saya langsung menghentikan kegiatan ,  lalu  membawa piring dan uang Rp5000. Bu Jajan langsung menerima piring saya dan meletakkan pisang goreng,  othok-othok dan pastel yang menjadi favorit kami.Â
Dulu saat masih sering mensuplai jajanan di kantin sekolah saya,  bu Jajan bisa membuat jajanan dalam jumlah yang banyak.  Karena yang dibuat mayoritas adalah pastel orang-orang  di sekolah memanggilnya bu Pastel.  Dipanggil apa saja  tidak apa katanya ,yang jelas saat itu keranjang yang dibawa bu Jajan selalu berisi pastel hangat  yang lezat.
Saya pernah bertanya kenapa tidak mensuplai sekolah lagi?  Ternyata seiring bertambahnya usia Bu Jajan sudah tidak begitu kuat memasak dalamjumlah banyak  .  Lagi pula selera jajan anak-anak sekarang sudah jauh berbeda.  Anak anak sekarang lebih suka jajan yang serba saos dan sambal.  Misal cilok dan tempura . Akibatnya pangsa pasar dagangan bu Jajan semakin berkurang.Â
Suatu saat setelah lama tidak berjualan karena pandemi,tiba- tiba di sore hari  Bu  Jajan datang ke rumah saya.Â
"Saya mau pinjam modal, Â Bu Yuli, " katanya ragu-ragu.
Deg..Mendengar kata modal bayangan saya adalah uang dalam jumlah yang besar.
"Pinten, Bu? " tanya saya
"Lima puluh ribu, Â nanti bulan depan saya kembalikan.. "
Ya Allah,  segera saya ambilkan uang di dompet dan saya serahkan.  Bu Jajan pulang dengan wajah berseri dan berkali- kali mengucapkan terima kasih pada saya.  Sesudah bulan berganti , Bu Jajan berkata pada saya bahwa belum bisa mengembalikan uang  karena di masa covid ini jualan sepi.Â
"Mboten nopo, Â Bu.. " jawab saya. Â Lha wong saya sendiri lupa.Â
Sampai akhirnya saat habis lebaran bu Jajan ke rumah mau mengembalikan uang itu.Â
"Mboten sisah, pun, " kata saya. Â Bu Jajan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Â Dan besoknya saat berjualan Bu Jajan menunjukkan pada saya keranjang barunya sambil berkata, " Uang yang kemarin dari Bu Yuli, saya pakai buat keranjang ini," katanya senang.
 Semenjak itu tiap saya beli selalu diberi bonus. Duh..Tidak enak rasanya
"Sudah, Â Bu.., Â " tolak saya. Â Tapi bu Jajan tetap memaksa.
"Kersane ta.. ," selalu itu jawabnya sambil memaksa memberikan  bonus ke piring saya.
Akhirnya dengan uang lima ribu rupiah saya dapat kue begitu banyak. Â Bu Jajan seolah selalu mencari cara agar bisa membayar hutangnya.
Awal bulan ketika saya gajian saya berniat memberikan sesuatu pada bu Jajan. Â Uang? Â Jelas tidak mau. Â Akhirnya saya belikan tepung terigu dan minyak goreng yang saya masukkan dalam kresek.
Paginya Bu Jajan menerima kresek itu dengan gembira. Â Setelah mengucapkan terima kasih, Â ia kembali menjajakan dagangannya.
Esoknya kami semua bangun kesiangan sehingga tidak mendengar teriakan bu Jajan seperti biasanya.  Dan betapa terharunya saya ketika mau membuka pintu  pagar, ternyata sudah tergantung dengan manisnya satu kresek kecil berisi othok- othok,  pastel dan pisang goreng di pintu pagar . Ini pasti gara -gara tepung dan minyak kemarin, pikir saya. Saya yakin besok dan lusa pasti ada bonus-bonus lagi. Tak apalah,  berarti saya harus siap tepung dan minyak lagi buat saya berikan pada Bu Jajan.
Agak ruwet sedikit memang. Tapi bukankah dengan memberi hidup akan terasa lebih berarti? Â Barangkali itu juga yang ada dalam pikiran bu Jajan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H