Kita memang hidup di negeri yang aneh bin ajaib. Aneh karena selalu meributkan berbagai macam hal yang sebenarnya tidak subtantif. Misalnya terkait pelarangan penggunaan GPS pada perangkat selular untuk kendaraan bermotor. Atau yang masih hangat terjadi yaitu tentang Kominfo yang memblokir akses di situs berbagi Tumblr, yang menurut sebagian orang terlalu mengada-ada.
Begitulah kita. Terlalu mengada-ada. Masih ada sekian banyak urusan yang harusnya diselesaikan dengan tingkat fokus tinggi, namun rupanya bangsa ini masih senang berkutat tentang hal-hal yang itu saja. Semacam anak muda yang galau dan belum sanggup untuk move on. Seperti yang terjadi pada permasalahan penerbitan SKL (Surat Keterangan Lunas) untuk para obligor BLBI yang telah menunaikan kewajibannya (tunggakan) kepada negara.
Ini kan aneh. Orang sudah bayar hutang dan sudah dinyatakan lunas, kok masih dipermasalahkan. Alasannya sih karena jumlah aset yang diberikan kepada negara sebagai hasil kompensasi bentuk hutang, setelah dihitung-hitung kembali, hari ini nilainya tidak sesuai dengan jumlah hutang yang diberikan negara. Agak-agak logical fallacy gak sih? Kenapa baru dipermasalahin sekarang. Kemaren-kemaren kemana aja woy?
SKL itu sendiri rata-rata diterbitkan pada tahun 2004 oleh BPPN. Kenapa baru setelah 14 tahun kemudian banyak yang berpendapat bahwa SKL tersebut tidak sah. Kalau terus ternyata beberapa tahun kemudian, aset-aset tersebut di jual dan tidak sesuai dengan utang yang berikan saat itu, yang salah siapa? Apakah mereka yang menyerahkan asetnya? Atau mereka yang memberi hutang dan kemudian memberikan tanda terima pelunasan hutang dalam bentuk SKL?
Kalau katanya Cak Lontong; "Mikiiiiiirrrrr!" (Sambil nunjuk kepala sendiri)
Misalnya gue punya hutang, dan kemudian gue beritikad baik untuk melunasi hutang dengan menyerahkan sebidang tanah, kemudian setelah di cek oleh pihak kreditur ternyata tanah gue nilainya sesuai dengan jumlah hutang. Dan selesai sudah, gue bebas dari hutang. Eh tapi beberapa tahun kemudian, kreditur yang sama bilang bahwa ternyata tanah gue hari ini nilainya sudah tidak sesuai dengan nominal hutang yang dulu. Apakah gue yang salah? Emangnya gue bisa mengatur nilai NJOP sebidang tanah? Mikir!
Sebenarnya, kalaupun mau dipermasalahkan terkait BLBI, mbok ya silahkan permasalahin mereka-mereka yang sampai hari ini belum memiliki itikad baik untuk melunasi hutangnya. Mereka-mereka yang sampai hari ini belum juga memberikan aset-aset mereka untuk mengganti hutang terhadap negara. Mereka yang faktanya masih belum menerika SKL dari pemerintah. Karena menurut gue, mereka-mereka inilah yang pantas menyandang gelar koruptor. Wong mereka ambil duit negara dan sampai hari ini gak dikembalikan kok.
1. Agus Anwar (Bank Pelita)
2. Samadikun Hartono (Bank Modern)
3. Kaharuddin Ongko (Bank Umum Nasional)
4. Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian)
5. Atang Latief (Bank Indonesia Raya)
6. Lidia Muchtar dan Omar Putihrai (Bank Tamara)
7. Adisaputra Januardy dan James Januardy (Bank Namura Yasonta)
8. Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa)
9. Santosa Sumali (Bank Metropolitan dan Bank Bahari)
10. Fadel Muhammad (Bank Intan)
11. Baringin MH Panggabean dan Joseph Januardy (Bank Namura Internusa)
12. Trijono Gondokusumo (bank Putera Surya Perkasa)
13. Hengky Wijaya dan Tony Tanjung (Bank Tata)
14. I Gde Dermawan dan Made Sudiarta (Bank Aken)
15. Tarunojo Nusa dan David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia)
Dari kelima belas obligor yang belum menerima SKL tersebut, total duit negara yang ada sama mereka masih sekitar 37 triliun rupiah (silahkan koreksi gue kalau salah). Tapi poinnya adalah mereka-mereka ini yang seharusnya di buru oleh KPK, kalau perlu di paksa dengan segala macam cara agar mau mengembalikan yang mereka pinjam kepada negara dalam bentuk apapun.
Dalam tulisan ini, gue sih gak mau melebar kemana-mana, apalagi mengait-ngaitkan kinerja KPK terhadap perkara lain yang juga gak kalah fantastis dalam hal merugikan negara seperti kasus korupsi kondensat yang melibatkan Honggo Wendratno sebesar 35 triliun rupiah. Terlalu jauh nantinya, dan tulisan gue bisa akan selesai-selesai hehehe.
Intinya, gue cuma ingin meihat para aparatur negara yang berwenang untuk memperkarakan penyelewengan duit negara (apapun modusnya) agar supaya dapat berlaku adil serta profesional. Profesional itu maksudnya memiliki kesungguhan untuk mengungkap kasus-kasus yang belum selesai, bukan justru meniadakannya lalu kemudian mengungkit masalah lama yang sudah selesai dan memiliki ketetapan hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H