Gadis bergaun pengantin berjalan di belakang Faris dengan perasaan masygul. Sejenak ia berhenti di depan plang bertulisan "Darul Hadlonah" yang ada di depan bangunan. Sayup-sayup terdengar celoteh riang di dalam sana. Mata si gadis memicing. Ia berjalan mengikuti Faris sambil tetap menyilangkan kedua tangan pada dada.Â
"Kak Faris hujan-hujanan cama ciapa?" Tanya Nadia polos. Si gadis bergaun pengantin sedikit tersentak.Â
Faris? nama itu terdengar familiar. Ia termangu sejenak, tapi fokusnya segera beralih pada gadis kecil berjilbab merah yang masuk ke ruang tamu. Sepasang mata kecoklatan itu menatapnya ramah. Si gadis bergaun pengantin terpukau dan semakin takjub kala beberapa anak kecil seusia Nadia menyusul ke ruangan cukup luas itu. Mereka berebut perhatian Faris.Â
Faris tersenyum."Kita kedatangan tamu."Â
"Kak Faris sudah menikah? kok istrinya gak pakai jilbab?" Lagi, Nadia nyeletuk. Membuat gadis di belakang Faris salah tingkah. Tanpa sadar ia mengelus rambutnya yang lepek. Â
"Belum, Sayang. Itu bukan istri Kak Faris. Kak Faris tadi nggak sengaja ketemu kakak itu." Faris menjelaskan.Â
"Oooh."Â
"Tolong Nadia panggilin Bik Misih ya."Â
Nadia mengangguk, lalu segera menyampaikan amanah Faris.Â
Tak berapa lama muncul seorang perempuan paruh baya dari arah dalam. Beberapa anak kecil tampak berlalu lalang. Seruan dari para pengasuh agar segera berwudlu terdengar. Bahwa adzan maghrib akan segera menggema dari arah mushola panti asuhan.Â
"Iya, Den?" Tanya Bik Misih. Sepasang netranya segera beralih pada perempuan menggigil yang berdiri tak jauh di belakang Faris. Lalu tersenyum ramah.Â