Mata seperti telaga itu. Mulanya datar, menyipit, lalu membeliak. Menit kemudian teriakan panik tak terelakkan.Â
"Woiii, stop! Apa kau sudah gila? Jangan bunuh diri! Stop! Astaghfirullah!"Â
Pemuda dengan kumis tipis itu reflek berlari kencang. Saking paniknya sampai lupa tak memakai sandal.Â
Tak ia pedulikan kerikil-kerikil tajam di sepanjang rel menusuk-nusuk telapak kakinya. Juga beberapa wajah polos yang menatapnya penuh khawatir sambil berteriak, "Kak Faris, hati-hati."Â
Namun yang dipanggil tak peduli. Ia harus cepat sampai rel dan menghentikan perbuatan hina serta mengerikan yang sebentar lagi akan terjadi.Â
"Woi, stop! Ya Allah."Â
Kepala kereta mendekat. Suara bising itu semakin keras. Hingga menggetarkan tanah, pepohonan dan rumah-rumah.
 Sedikit lagi. Kereta api itu akan menghantam gadis bergaun putih. Tinggal tujuh langkah. Lima langkah. Nyaris... nyaris hancur ia jika tangan kekar itu tak berhasil menarik paksa lengannya. Hampir saja malaikat pencabut nyawa memberi salam, "welcome to alam kubur."
Gadis itu terhuyung sebab cengkraman kuat pada lengannya. Secara otomatis ia mendekap sosok yang muncul secara tiba-tiba. Sebetulnya reflek saling mendekap untuk menahan diri agar tak jatuh tersebab angin berhembus kuat saat kereta berlari kencang.Â
Waktu seolah berhenti berdetak, bumi seolah berhenti berputar dan mereka seperti terlempar ke dimensi lain. Hingga suara bising itu menghilang. Monster berbaju besi itu berlalu. Lalu keduanya melepas pelukan satu sama lain dengan nafas memburu. Ketakutan masih menyelimuti, tapi perasaan terkejut kini mendominasi. Ketika sepasang mata berbingkai kacamata itu menemukan wajah pucat dan cantik dari jarak yang begitu dekat.Â
"Lepas!" Gadis berhidung mancung itu berteriak dengan suara parau yang berat.Â