Mohon tunggu...
Yuka Langbuana
Yuka Langbuana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Konservatif tertib nalar. Washington State University Senior majoring in Computer Science and Economics Follow saya di Twitter dan Instagram: @YukaLangbuana

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisa Korelasi Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

2 Oktober 2018   10:32 Diperbarui: 2 Oktober 2018   11:42 2623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 2. (Data Tahun 1980. Sumber: World Bank)

Terpilihnya Presiden Joko Widodo di tahun 2014 silam menandakan dimulainya era pembangunan ekonomi yang terkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur. Premis yang digunakan untuk mendukung pembangunan tersebut adalah pembangunan infrastruktur akan meningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, juga memberikan "multiplier effect" pada perekonomian secara kesuluruhan; Tersedianya lapangan kerja meningkatkan pendapatan per-kapita negara yang menghasilkan tambahan pendapatan pajak pemerintah. Pertambahan pendapatan pajak tersebut, sebagai gantinya, akan digunakan untuk membayar hutang luar negeri yang diambil pemerintah hari ini. Disamping itu, dengan banyaknya proyek infrastruktur, bisnis-bisnis lokal akan mengambil kesempatan dengan menjual jasa dan barang pokok guna menunjang pembangunan di daerah tersebut. Konsep ini adalah konsep dasar dari Keysian Economics yang mengedepankan kontribusi pemerintah sebagai penunjang ekonomi yang sehat.

Tetapi disamping banyaknya pembangunan hari ini, perlu dipertanyakan apakah proyek infrastruktur akan menghasilkan efek yang diinginkan. Perlu juga dipertanyakan apakah multiplier effect yang dijanjikan Keynes berlaku pada perekonomian Indonesia di masa mendatang. Untuk itu, kita perlu melihat dan menganalisa data dari banyak negara lain yang telah menempuh jalur yang sama; Keysian Economics.

Perbandingan Data

Mari kita bandingkan dua negara. Negara A dan Negara B.

Tabel 1. (Data Tahun 1980. Sumber: World Bank)

Kita bisa lihat dari Tabel 1 bahwa Negara B memiliki keuntungan sistematik secara infrastruktur dibanding Negara A; Negara B memiliki lebih banyak unit telefon dibanding Negara A. Jika saya bertanya kepada anda: Negara mana yang mampu berkembang lebih pesat? Kebanyakan dari anda akan menjawab Negara B.

Pada kenyataannya, Negara B adalah Uni Soviet, dan Negara A adalah Tiongkok. Uni Soviet pada tahun 1989 mencatatkan kemajuan fantastis dalam jumlah unit telefon-nya. Jika kita interpretasikan pada keadaan hari ini, Uni Soviet memiliki jalur komunikasi yang lebih luas dibandingkan Tiongkok.

Tetapi, Uni Soviet bubar pada tahun 1991; 2 tahun setelah mencatatkan statistik yang impresif pada infrastrukturnya. Sementara Tiongkok, dengan infrastruktur yang lebih rendah dalam nominalnya, mencatatkan pertumbuhan ekonomi dua-digit selama 20 tahun terakhir.

Mari kita lihat perbandingan lainnya:

Tabel 2. (Data Tahun 1980. Sumber: World Bank)
Tabel 2. (Data Tahun 1980. Sumber: World Bank)
Tabel 2. (Data Tahun 1980. Sumber: World Bank)

Kita bisa lihat pada tabel 2 bahwa Negara A memiliki keuntungan sistematis secara infrastruktur dibanding Negara B. Tentu dengan jalur kereta api yang lebih luas, transportasi barang akan lebih mudah, dan pada akhirnya menurunkan biaya banyak kebutuhan secara aggregat. Sekali lagi saya bertanya: Negara mana yang mampu berkembang lebih pesat?

Kenyataannya, Negara A adalah India, dan Negara B adalah Tiongkok. India dengan jumlah wilayah yang lebih kecil dibanding Tiongkok, memiliki jumlah jalur kereta yang lebih panjang. Jika kita bandingkan performa ekonomi kedua negara hari ini, jelas Tiongkok berada diatas India berkenaan dengan GDP dan pertumbuhan ekonominya.

Analisa

Dari data diatas, jelas kita lihat bahwa infratruktur bukanlah faktor penyebab pertumbuhan ekonomi suatu negara. Nyatanya, jika kita meneruskan analisa kita pada data infrastruktur di seluruh dunia dan pertumbuhan ekonominya, fakta dari data---data tersebut lebih mendukung pandangan yang menyebutkan bahwa infrastruktur adalah hasil pertumbuhan ekonomi. Bukan sebaliknya. Ketika ekonomi sebuah negara berkembang, pemerintah mampu mengakumulasi lebih banyak kekayaan dari pendapatan pajak, dan pada hasilnya, pemerintah mampu menginvestasikan kekayaan itu pada proyek infrastruktur. Maka dari itu, kita bisa simpulkan bahwa proyek infrastruktur tidak memiliki korelasi yang jelas terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

Beberapa dari anda pasti memiliki pertanyaan. "Jadi apa yang menstimulus pertumbuhan ekonomi sebuah negara ?" Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat perbandingan pertumbuhan antara Tiongkok dan India pada keadaan ekstrim.

Pada periode tahun 1966--1976, Tiongkok menjalankan kebijakan "Cultural Revolution" yang bertujuan untuk mengindustrialisasi Tiongkok secara cepat. Sayangnya kebijakan ini banyak menghasilkan kematian dan penindasan. Diperkirakan sekitar 750,000 -1.5 Juta orang menjadi korban kebijakan pemerintah. Jelas dengan keadaan politik yang tidak stabil, ekonomi sebuah negara akan mengalami periode fluktuatif. Pemilik usaha akan ragu membuka usaha ditengah ketidakpastian keamanan, investor maupun penghutang luar negeri-pun tidak akan memberi investasi maupun pinjaman kepada Tiongkok.

Di periode yang sama (1966--1976), India berada di bawah kepemimpinan Indirs Ghandi, cucu dari Mahatma Gandhi. India pada saat itu menerapkan kebijakan ekonomi yang reformis: pemberantasan korupsi, penyusutan birokrasi, menaikan suku bunga, dsb. India pada saat itu adalah salah satu destinasi investasi yang menggiurkan bagi investor asing.

Grafik 1: Perbandingan GDP India dan Tiongkok 1966--1976 (Sumber: World Bank)
Grafik 1: Perbandingan GDP India dan Tiongkok 1966--1976 (Sumber: World Bank)
Grafik 1: Perbandingan GDP India dan Tiongkok 1966--1976 (Sumber: World Bank)

Tetapi, jika kita lihat perbandingan pertumbuhan ekonomi kedua negara pada periode tersebut (Grafik 1), Tiongkok mengungguli India dalam hal pertumbuhan GDP dengan jumlah rata-rata 2.2% per tahun. Padahal keadaan ekonomi di Tiongkok sedang dalam keadaan tidak pasti/aman dibandingkan India. Kita bisa simpulkan bahwa Tiongkok memiliki keuntungan sistematis di faktor lain dalam hal pertumbuhan ekonominya. Jelas keuntungan itu tidak kita lihat pada sektor infrastruktur, seperti yang telah dijabarkan diatas. Jadi apakah keuntungan itu?

Grafik 2: Persentase Keaksaraan Tiongkok vs India. (Sumber : OurWorldInData)
Grafik 2: Persentase Keaksaraan Tiongkok vs India. (Sumber : OurWorldInData)
Grafik 2: Persentase Keaksaraan Tiongkok vs India. (Sumber : OurWorldInData)

Jika kita lihat persentase jumlah keaksaraan penduduk Tiongkok dan India pada Grafik 2, jelas kita lihat bahwa Tiongkok memiliki keuntungan sistematis dari kemampuan penduduknya dalam membaca dan menulis. Dengan penduduk yang mampu menerima dan menyampaikan informasi, Tiongkok memiliki penduduk yang jauh lebih cakap beradaptasi dalam sistem ekonominya; Penduduk Tiongkok jauh lebih mudah dilatih ulang untuk masuk ke sektor industri yang lain.


Anomali

Sebagian dari pembaca pada tahap ini akan menyimpulkan bahwa Indonesia belum perlu ataupun mampu membangun infrastruktur yang komprehensif demi perkembangan ekonominya. Kita-pun telah menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang jelas antara pembangunan infrastruktur dengan perkembangan ekonomi sebuah negara. Pada titik ini, sebagian dari pembaca-pun akan menyimpulkan bahwa yang dibutuhkan Indonesia adalah pembangunan manusianya. Indonesia perlu membenahi dan berinvestasi pada sektor pendidikan.

Namun, sebagian pengkritik saya akan berargumen bahwa penduduk Indonesia sudah cakap dalam kemampuan membaca dan menulis. Mereka kemungkinan besar akan melawan argumen saya dengan data pada di grafik 3.

Grafik 3: Persentase Keaksaraan Tiongkok, India, dan Indonesia. (Sumber : OurWorldInData)
Grafik 3: Persentase Keaksaraan Tiongkok, India, dan Indonesia. (Sumber : OurWorldInData)
Grafik 3: Persentase Keaksaraan Tiongkok, India, dan Indonesia. (Sumber : OurWorldInData)

Kemampuan membaca dan menulis penduduk Indonesia bisa kita katakan setara dengan kemampuan penduduk Tiongkok. Secara logika, seharusnya penduduk Indonesia juga mampu bersanding secara ekonomi dengan Tiongkok. Kita menemukan anomali disini. Apa yang mungkin menyebabkan anomali tersebut?

Anomali ini disebabkan perbedaan definisi kemampuan membaca dan menulis untuk keperluan statistik. Di Tiongkok, definisi kemampuan literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis 1,500 karakter Mandarin. Di Indonesia, definisi kemampuan literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis kata-kata/kalimat sederhana dalam huruf latin. Contohnya adalah "Saya membaca" atau "Saya menulis". Jelas ini tidak cukup kalau kita bandingkan dengan kemampuan membaca dan menulis penduduk Tiongkok yang lebih komprehensif.

Kesimpulan

Terpilihnya Presiden Joko Widodo di tahun 2014 menandai dimulainya pembangunan infrastruktur Indonesia secara cepat dan ambisius. Pembangunan infrastruktur Indonesia didasarkan pada premis bahwa diperlukan pembangunan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nyatanya, kita telah membuktikan bahwa tidak ada korelasi yang jelas antara pembangunan infrastruktur suatu negara dengan pertumbuhan ekonominya. Yang Indonesia perlukan adalah pembenahan dan investasi dalam jumlah yang besar pada sektor pendidikan. Dengan penduduk yang cakap secara intelektual, tenaga kerja yang tersedia dalam perekonomian Indonsia tentu akan lebih berkualitas dan mudah untuk berpindah pekerjaan, sesuai dengan kebutuhan ekonomi bangsa hari itu.

Catatan Tambahan: Keynes

John M. Keynes ber-argumen bahwa untuk menstabilkan ekonomi suatu bangsa, diperlukan intervensi pemerintah dalam sistem ekonominya. Pasar tidak bisa dibiarkan menjalankan sendiri keinginannya tanpa menghasilkan stagnasi ekonomi di masa depan. Hal ini terbukti dengan krisis ekonomi tahun 2008, 2001, 1930, dst. Pemerintah, menurut Keynes, perlu menciptakan permintaan ekonomi guna menyeimbangkan faktor-faktor ekonomi lainnya; Jika demand turun terlalu jauh, pemerintah perlu menciptakan demand. Begitu juga dengan supply.

Keynes mengajukan gagasan bahwa salah satu cara pemerintah menciptakan demand adalah dengan menciptakan lapangan perkerjaan. Dalam hal ini, proyek infrastruktur. Seperti yang telah saya jabarkan diatas, proyek infrastruktur diharapkan menciptakan "multiplier effect" pada perekonomian sebuah negara; Tersedianya lapangan kerja meningkatkan pendapatan per-kapita negara yang menghasilkan tambahan pendapatan pajak pemerintah. Pertambahan pendapatan pajak tersebut, sebagai gantinya, akan digunakan untuk membayar hutang luar negeri yang diambil pemerintah hari ini. Disamping itu, dengan banyaknya proyek infrastruktur, bisnis-bisnis lokal akan mengambil kesempatan dengan menjual jasa dan barang pokok guna menunjang pembangunan di daerah tersebut.

Tetapi, juga seperti yang telah kita buktikan diatas, proyek infrastruktur tidak menciptakan pertumbuhan ekonomi yang diprediksikan Keynes. Jika kita lihat juga data dari negara-negara yang menganut Keysian Economics, rasio hutang pemerintah pusat terhadap GDP telah melampaui batas normal. Amerika Serikat sendiri per hari ini memiliki rasio hutang 77% terhadap GDP. Inggris memiliki rasio hutang 88.3% terhadap GDP. Jelas ini adalah indikator bahwa gagasan John Keynes untuk menggunakan pemerintah demi kepentingan stabilisasi ekonomi memiliki kelemahan di dalamnya. Saya dengan senang hati ingin memberikan argumen terhadap John Keynes, tetapi ini topik untuk artikel lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun